Bisnis.com, JAKARTA – Otoritas pajak mengaku penerimaan pos pajak atas konsumsi 2015 diperkirakan akan terkontraksi dari realisasi tahun lalu sejalan dengan terpaan perlambatan ekonomi dan terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito mengatakan penerimaan pajak atas konsumsi – pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) – tahun ini dinilai mengganggu performa penerimaan secara total karena imbas dari melemahnya sektor riil.
“Sangat terganggu saya dengan PPN yang di luar dugaan. Pasti [terkontraksi]. Padahal, hitungan saya minimal sama. Ini malah makin melebar [gap dari tahun lalu],” ujarnya, Jumat (25/9/2015).
Realisasi PPN dan PPnBM hingga akhir Agustus 2015 senilai Rp237,2 triliun terkontraksi sekitar 3,7% dari capaian tahun lalu Rp246,4 triliun. Meskipun PPN dalam negeri tumbuh 3,1% dari capaian tahun lalu, Sigit berujar penerimaan itu masih di bawah pertumbuhan alamiahnya. Di pos lain, baik PPN impor maupun PPnBM juga mencatatkan kontraksi dalam.
Dalam catatan Bisnis.com, Sigit menyatakan ada risiko penerimaan pajak atas konsumsi ini di bawah 90%. Namun, pihaknya masih berharap akan ada peningkatan performa dari pajak atas konsumsi tersebut karena otoritas pajak akan menerapkan faktur pajak elektronik (e-faktur) untuk Jawa dan Bali.
Ketika ditanya proyeksi persentase penurunan di penerimaan pos tersebut, mantan Kepala Kantor Wilayah Pajak Wajib Pajak Besar (large tax office/LTO) ini mengaku belum bisa memastikan lebih rinci. Menurutnya, besaran penurunan masih dipengaruhi pula oleh nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Pasalnya, melemahnya nilai tukar rupiah akan semakin memperburuk performa PPN maupun PPnBM impor. Pada perdagangan Rabu (23/9) nilai tukar rupiah kian terpuruk karena terdepresiasi 0,65% atau 95 poin ke level Rp14.647 per dolar AS dari sebelumnya Rp14.552 per dolar AS.
Penutupan rupiah tersebut kembali mencatat rekor terlemah sejak 1998 dan mengikuti rontoknya mata uang regional Asia yang mayoritas tertekan.
Tercatat sejak awal tahun, nilai tukar rupiah telah terkoreksi 15,42% dan menjadi mata uang paling terpuruk kedua di Asia setelah ringgit Malaysia yang anjlok19,48% (year-to-date).
Sementara dari kinerja impor, menilik data Badan Pusat Statistik (BPS), total impor Januari hingga Agustus 2015 tercatat US$96,3 miliar atau turun 18,96% dari capaian tahun lalu US$118,8 miliar.
Penurunan terdalam ada pada golongan impor bahan baku/penolong sekitar 20,09% dari US$91 miliar menjadi US$72,7 miliar. Barang modal maupun barang konsumsi masing-masing turun 16,13% dan 13,17%.
“Saya enggak berani pastiin karena tergantung nilai dolar. Kalau dolar naik lagi, makin hancur itu [PPN dan PPnBM] impor,” ungkap Sigit.
Hingga akhir Agustus, PPN impor tercatat mengalami kontraksi 12%, anjlok dari pertumbuhan tahun lalu 11,2%. Sementara PPnBM impor tercatat terkontraksi 24,4% setelah per akhir Agustus tahun lalu juga sudah mengalami koreksi 27%.
Kendati Sigit memastikan penerimaan PPN dan PPnBM akan terkontraksi, dalam progonosis yang disampaikan DPR, dengan prognosis shortfall – selisih antara realisasi dan target – pajak (minus PPh migas) Rp115,1 triliun, penerimaan pajak atas konsumsi itu masih diperkirakan tumbuh dari Rp409,2 triliun capaian akhir tahun lalu menjadi Rp498,2 triliun tahun ini.
Dengan demikian, jika penerimaan pos ini terkontraksi, shortfall pajak yang menjadi domain Ditjen Pajak (DJP) akan melebar. Namun, Sigit menyatakan pihaknya masih optimistis menggenjot penerimaan dari sisi pajak penghasilan (PPh) apalagi dengan program reinventing policy.
Dengan penerimaan pajak nonmigas hingga 19 September 2015 senilai Rp603,3 triliun, ada sisa Rp521,3 triliun yang harus dikejar pada sisa 3,5 bulan mendatang. Dari jumlah tersebut, senilai Rp118,6 triliun akan didapat dari program penghapusan sanksi administrasi pajak yang menjadi andalan DJP tahun ini.