Bisnis.com, JAKARTA - Siang itu, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan tiba di Bandara Syukuran Aminuddin Amir, Banggai, Sulawesi Tengah. Lokasi di wilayah tengah Indonesia ini masih terdengar asing bagi sebagian orang.
Turun dari pesawat pada Minggu (13/9), Jonan memutuskan langsung meninjau Pelabuhan Luwuk, Sulteng yang letaknya sekitar 13 km dari bandara. Ini kali pertama seorang menteri datang ke Pelabuhan Luwuk. Semua pekerja bongkar muat dan karyawan pelabuhan berkerumun melihat pemandangan yang jarang mereka lihat.
Setelah meninjau kondisi dermaga dan kapal, dia melangkahkan kaki ke ruang tunggu penumpang seakan mengabaikan debu-debu yang beterbangan. Kondisi pelabuhan yang berdebu bukan barang baru bagi warga ataupun pekerja di sana.
Berapa kali pengaspalan dilakukan tetapi tidak bisa mengatasi kondisi tanah di daerah dengan dominasi perbukitan dan laut itu. “Sudah berapa kali diaspal tapi tetap saja seperti ini berarti aspalnya enggak benar, harus beton,” kata Jonan.
Terminal penumpang dianggap-nya masih terkesan kuno dan tidak terawat. Dia berharap Pelabuhan Luwuk berfokus kepada pelayan-an penumpang, sementara bongkar muat kontainer bisa dijalankan di Pelabuhan Tangkian yang berjarak 50 km-60 km atau satu jam dengan menggunakan kapal.
Namun, dia tetap meyakini pelabuhan di Banggai harus berstatus Badan Layanan Umum (BLU) dari saat ini berstatus Unit Pelaksana Teknis Ditjen Perhubungan Laut, Kemenhub. “Pelabuhan Luwuk sudah jelek ini, sudah kuno, tapi ini akan di BLU juga,” katanya.
Tidak semudah itu memang untuk memindahkan terminal kontainer di Luwuk. Pasalnya, muatan yang dibongkar dan dimuat di pelabuhan itu lebih disukai oleh pada pemilik barang. Kepala Unit Penyelenggara Pelabuhan Luwuk Ruly Hasan Lihawa menilai Pelabuhan Luwuk masih sanggup melayani aktivitas bongkar muat kontainer.
Di sisi lain, pelabuhan itu masih sebagai pelabuhan transit bagi penumpang yang hendak bepergian dengan kapal milik PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni). Kapal milik BUMN itu singgah ke pelabuhan di Teluk Lalong itu dua kali dalam satu bulan.“Kami tergantung di pusat toh, seperti apa nantinya. Paling tidak ada data dulu yang berguna. Sementara ini belum ada terlalu signifikan kan [penumpangnya],” paparnya.
Saat mengajak berkeliling Menhub di pelabuhan, Ruly menjelaskan saat kapal datang jumlah penumpang berkisar 260 orang. Untuk kapal yang membawa kontainer memiliki intensitas kedatangan di pelabuhan yang cukup banyak lebih dari 3 kali-4 kali kunjungan dengan durasi bongkar muat hingga tiga hari per kunjungan.
PEKERJAAN RUMAH
Menurutnya, Pelabuhan Luwuk masih menyisakan sejumlah daftar panjang pekerjaan rumah yang mesti dipenuhi. Salah satu yang kerap dikeluhkan oleh pemilik kapal adalah kedalaman kolam yang sering diselimuti sedimen pasir dari anak-anak sungai dan juga sampah.
Dengan luas dua hektare dengan panjang dermaga 154 meter dan draf 8 meter, kapal masih kesulitan bermanuver terutama jika kapal diken-dalikan oleh nakhoda yang belum terbiasa bersandar di Pelabuhan Luwuk.
“Memang ada kendala di manu-vering tapi kalau ada nakhoda yang biasa masuk sini, saya pikir tidak ada kendala. Cuma kadang manakala datang yang baru pasti enggak bisa. Karena kita belum punya guidance atau pandu,” tuturnya.
Teluk Lalong telah menciptakan sedimen yang bisa menyebabkan kandasnya kapal yang hendak bersandar. Dia menerangkan pengerukan sedimen itu membutuhkan perhitungan yang tepat baik luasan area, jumlah material, dan alat berat yang dibutuhkan. Ruly memperhitungkan biayanya bisa mencapai miliaran rupiah.
Pelabuhan yang berhadapan dengan pelabuhan pelayaran rakyat tengah fokus untuk membenahi terminal penumpang, pengadaan fasilitas pandu beserta kapal tunda dan perpanjangan dermaga sekaligus pengadaan alat bongkar seperti crane dan mobile crane pada tahun ini.
“Ada pembangunan terminal penumpang. Jadi kalau sisi darat itu kita ada Rp12 miliar. Tahun ini seha-rusnya dapat sekitar Rp50 miliar, tapi kendalanya belum ada detail enginee-ring design [DED},” terangnya.
Untuk saat ini, Pelabuhan Luwuk masih sanggup melayani kapal kontainer yang bersandar. Menurut Ruly, perekonomian kecamatan Luwuk dan sekitarnya akan terus meningkat dengan hadirnya kilang bahan bakar gas di lepas pantai yang diperkirakan dapat mendorong aktivitas logistik.
Pelabuhan sebagai sentra arus barang, paparnya, harus siap mengantisipasi momen itu dengan menyiapkan segala kebutuhan yang diperlukan untuk mempercepat dan memaksimalkan pelayanan pelabuhan. Kapal yang sandar di pelabuhan itu biasanya berasal dari Surabaya dengan membawa muatan sembilan bahan pokok dan bahan bangunan seperti semen.
Pelabuhan itu juga menyediakan dua gudang penyimpanan barang, masing-masing berkapasitas 750 ton dan 250 ton. “Jadi kalau dari sini bawanya kayu, batang kepala, cengkeh, rotan, rumput laut, dan jagung. Tapi jumlah kontainernya dari Surabaya lebih banyak,” ucapnya.
Oktovianus Mandesa, Kepala Cabang Luwuk Mentari Line, menilai draf dermaga sudah tidak layak karena kapal harus susah payah menjaga keseimbangan. Dia menyebutkan kedalaman laut setidaknya berukuran 12 meter. Kapal Mentari Line sudah 15 tahun berkutat dengan pelabuhan ini dengan ukuran kapasitas kapal 600 TEUs.
Saat kapal akan membawa muatan dari Luwuk, Mentari Line hanya mampu mengangkut 150 kontainer karena draf dermaga tidak mampu menopang lebih dari itu.“Yang penting ada muatan balik dari Luwuk untuk biaya operasional, kalau enggak ada muatan itu susah. Paling banyak per ship itu 200 kon-tainer. Tapi sekarang paling cuma 150 kontainer karena drafnya,” katanya.
Kapal Mentari Line akan mencari muatan untuk memenuhi kapal dengan mampir ke Pelabuhan Tangkian yang jaraknya 1 jam dari Pelabuhan Luwuk. Bila masih kurang memenuhi muatan untuk menutupi biaya operasional, kapal ini akan sampai ke Makassar.
Menanggapi pernyataan Jonan, dia justru menilai Pelabuhan Luwuk yang paling layak menjadi pelabuhan kontainer. Menurutnya, jarak yang cukup jauh akan menambah biaya logistik perjalanan darat dengan truk yang bisa memakan waktu tempuh dua jam sampai tiga jam menuju Pelabuhan Tangkian dari Luwuk.
Kendala lain yang menjadi persoalan utama di Tangkian adalah karakter buruh bongkar muat yang sulit diatur oleh pemilik barang. Dia justru berharap pelabuhan itu ditutup karena aktivitas kontainer lebih banyak dilakukan di Luwuk.
“Itu akan jadi gejolak sosial karena buruh di sini ada sekitar 800 orang. Kalau begitu bahaya, kantor [Dinas] Perhubungan bisa kacau. Harga-harga barang akan naik tinggi karena trucking-nya jauh. Di Tangkian susah buruh-buruh diatur. Susah itu diaturnya, Tangkian tutup saja. Ribut terus,” jelasnya.