Bisnis.com, PONTIANAK – Terik matahari begitu menyengat di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Bagi Yusman Mistar, udara panas tidak menyurutkannya untuk mendengar seorang konsultan keuangan ternama memberikan penjelasan tentang cara pengelolaan keuangan.
Sang Konsultan Ahmad Gozali kemudian melontarkan pertanyaan kepada segenap puluhan warga Entikong yang mengikuti seminar di aula Kantor Camat Entikong. Jawaban Yusman membuat konsultan lebih tertarik memberikan satu buku karyanya.
Yusman merupakan petani yang tinggal di wilayah perbatasan antara Indonesia dengan Kuching, Malaysia. Dia berhak menerima buku karena memiliki jenis usaha lebih banyak dibandingkan dengan peserta seminar lainnya.
Sebagai seorang petani, dia menyebutkan satu persatu-satu komoditas pertaniannya ditanaminya seperti lada, karet, kakao, pisang dan padi. Komoditas-komoditas itu dikembangkannya sejak Yusman masih remaja. Selain itu, dia memiliki toko sembako.
Usai acara itu, dengan wajah sumringah, Yusman bercerita kepada Bisnis, kecamatan ini sangat strategis untuk menjual beragam produk pertanian dan perkebunan. Pembelinya bukan hanya warga Indonesia, melainkan juga datang dari masyarakat Malaysia.
Entikong memang kawasan sangat strategis. Ia memiliki akses darat langsung ke distrik terdekat Malaysia, yakni Tebedu dengan hanya memakan waktu kurang lebih 15 menit sampai ke lokasi tersebut menggunakan kendaraan bermotor.
Alhasil, tentu dengan mudah bagi Yusman bisa menjual hasil panennya kepada penadah-penadah yang telah menunggu di perbatasan Tebedu dan langsung didistribusikan ke kota-kota lainnya, di Malaysia. Kegiatan itu rutin setiap hari dilakukan warga lain di Entikong, tak Cuma Yusman saja.
“Dalam 1 bulan saya juga bisa 1-2 kali untuk belanja kebutuhan pokok ke Malaysia karena jaraknya dekat. Setelah itu, saya jual ke toko sembako saya,” kata Yusman, kepada Bisnis pertengahan Juni lalu.
Dari hasil panen pisang misalnya, kata dia, dilakukan 4 kali panen. Untuk sekali panen dan dijual, Yusman bisa memperoleh penghasilan berkisar Rp500.000 hingga Rp1,2 juta.
Lain lagi kalau menjual lada yang sekarang harganya sedang bagus-bagus berkisar Rp120.000-Rp140.000 per kilogram sehingga membuat pundi-pundi penghasilannya bisa mencapai hampir Rp7 juta setiap bulan.
Lada menjadi komoditas popular di kawasan perbatasan dan primadona bagi masyarakat Malaysia. Harga yang naik, membuat permintaan pun menjadi naik.
Sebagian dari hasil panen pertaniannya, kemudian Yusman sisihkan untuk membeli kebutuhan sembako dan sisanya untuk kebutuhan sehari-hari dan ditabung. Dia mengaku bekerja lebih keras, supaya kedua anaknya bisa menyelesaikan pendidikan perguruan tinggi.
Oleh karena itu, Yusman simpan uang untuk ditabung ketiga bank yakni, Bank Pembangunan Daerah (BPD) Kalbar, Bank Mandiri, dan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Ketiga bank ini ada di Kecamatan Entikong.
Keberadaan bank-bank itu tentu sangat membantu Yusman guna setiap kali melakukan transaksi keuangan khususnya mengirim uang untuk anak bungsunya yang saat ini mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Darul Dakwah, di Jawa Timur.
Sementara anak paling tua, sedang menyelesaikan pendidikan keguruan di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) di Pontianak. Anak-anaknya masing-masing dibekali kartu anjungan tunai mandiri (ATM) supaya mudah menerima uang kiriman dari Yusman.
“Saya masih sebatas untuk menabung saja dulu, belum pada pengelolaan keuangan seperti untuk investasi asuransi, reksa dana atau saham,” terangnya.
Tinggal di Entikong, perbatasan dengan Malaysia membuat seorang Yusman, betah. Akses perbankan yang mudah tidak membuatnya sulit untuk mencari tempat menyimpan uang dengan aman dan cepat.
Bahkan untuk berbelanja ke Malaysia dia bisa langsung menukarkan uang rupiah ke bank tidak perlu ke calo dengan harga beli yang tinggi.
Namun, untuk berbelanja ke Malaysia,Yusman terbentur oleh peraturan Sosial Ekonomi Malaysia dan Indonesia (Sosek Malindo) antara kedua negara hanya memperbolehkan berbelanja sebanyak 600 ringgit atau Rp2,1 juta saja.
Kepala Kantor Kas Bank Mandiri Entikong Ray Satria mengutarakan semenjak pembatasan 600 ringgit justru membuat masyarakat Entikong untuk menabung menjadi kurang bergairah.
Rerata sebelumnya warga yang menabung dalam setahun, pihaknya bisa menghimpun dana hingga Rp1 miliar tetapi sekarang turun drastis, hanya berkisar Rp100 juta hingga Rp200 juta.
“Sejak Bea Cukai membatasi warga untuk memasukkan barang belanjaan dari Malaysia, ada pengaruhnya dengan tabungan masyarakat. Mereka tidak lagi menabung dalam jumlah nominal uang yang gede-gedean,” ujarnya.
Kendati demikian, pihaknya melihat masih adanya peluang untuk mengumpulkan dana pihak ketiga (DPK) di wilayah Entikong pada masa mendatang. Ray mengatakan telah memiliki sejumlah program untuk menggaet langsung calon nasabah DPK.
Pertama dari transaksi pertukaran uang rupiah ke ringgit begitu juga sebaliknya. Sejak pembatasan 600 ringgit per satu hari, transaksi hanya belasan hingga puluhan ringgit. Sebelumnya, transaksi bisa menyentuh angka 1.000 ringgit.
Menariknya, kata dia, para calo yang melakukan pertukaran uang rupiah dan ringgit dengan pecahan kecil antara 50 ringgit hingga 100 ringgit atau lebih dari nominal itu bukan untuk kebutuhan belanja skala besar dalam satu hari tetapi untuk belanja kebutuhan pokok yang nominalnya kecil.
“Calo-calo ini menjadi tempat pertukaran uang bagi masyarakat yang ingin memerlukan uang cepat atau tidak tahu ingin menukarkan uang ke kami (Bank Mandiri). Kalau ke kami bisa dijamin kepastian uangnya asli,” kata dia.
Dia mengatakan transaksi pertukaran uang rupiah dan ringgit itu yang masih belum maksimal diterapkan dan itu akan menjadi peluang menurutnya untuk dilakukan di masa mendatang.
Pihaknya akan melakukan sosialisasi rutin di kalangan masyarakat Entikong dan memasang spanduk tempat pernukaran uang sekaligus untuk mengajak masyarakat menabung.
Belum lagi, menurutnya, dengan keinginan pemerintah pusat membangun wilayah perbatasan Entikong yakni menjadi pelabuhan darat tentu akan membuat perekonomian masyarakat lebih bergairah.
“Kami sudah mulai akan menjajaki dengan pihak Bea Cukai dalam hal pembayaran pajak bea masuk. Itu kan kalau barang-barang masuk ke Entikong harus ada bukti setoran pajak. Nah, kami ingin memfasilitasi pembayaran pajak itu,” katanya.
Dari sisi fasilitas, Kantor Bank Mandiri Kas Entikong mempunyai 1 mesin ATM dan 1 mesin serupa di Balai Karangan dengan jarak hampir 30 menit dari Entikong. Kebutuhan uang melalui mesin ATM masih relatif rendah dengan tingkat pengisian setiap 3 hari sekali dengan sekali isi Rp650 juta.
Bank Pembangunan Daerah (BPD) Kalbar melihat ada potensi besar untuk menarik DPK di wilayah perbatasan. Hanya, menurutnya, infrastruktur jalan, dan listrik di perbatasan tidak memungkinkan bagi BPD Kalbar guna membuka jaringan kantor perbankan setingkat capem di seluruh wilayah di perbatasan.
Saat ini, BPD Kalbar baru memiliki kantor capem di wilayah perbatasan, a.l, Capem Entikong--Sanggau, Capem Sajingan--Sambas, Capem Badau--Kapuas Hulu. Di perbatasan Jagoi Babang--Kabupaten Bengkayang baru sebatas kantor kas dan Kecamatan Ketungau Tengah--Sintang belum dibangun kantor jaringan bank.
Kepala Divisi Tresuri BPD Kalbar Restuanda mengutarakan besarnya biaya dan perhitungan untung rugi menjadi pertimbangan untuk membangun jaringan kantor bank di perbatasan. Misalnya, kata dia, untuk satu capem saja baru bisa menghimpun DPK dalam setahun sebesar Rp10 miliar.
“Idealnya masing-masing kantor capem bisa mengumpulkan uang DPK minimal Rp50 miliar setiap tahun. Itu bisa dianggap menguntungkan secara bisnis. Perlu investasi besar untuk membangun gedung, mesin, dan karyawan,” tuturnya.
Sebelum membangun kantor, menurut Restuanda, pihaknya harus mengkaji dulu potensi SDA masyarakat setempat, jenis pekerjaan, dan bisa atau tidak mengelola uang secara mandiri atau kelompok.
Direktur Utama BPD Kalbar Sudirman HMY, dalam satu kesempatan wawancara, mengatakan bank dengan kepemilikan saham terbesar milik Pemprov Kalbar ini sedang membina para peternak kambing etawah di Jagoi Babang supaya bisa mengelola pembukuan keuangan dengan benar.
Para peternak di Jagoi Babang yang memiliki kebun lada komunal kembudian membuat satu kelompok peternak dan melakukan aktivitas pembuatan buku neraca keuangan secara rutin setiap bulan.
Sampai pada satu hari kelak, dia berharap peternak-peternak itu bisa mandiri minimal masing-masing peternak mempunyai 25 ekor kambing etawah per satu kepala keluarga.
“Kalau sudah banyak peternak yang memiliki kambing dan kebun lada sendiri, baru lah kami masuk mendirikan kantor bank. Kami sedang menunggu mereka siap menabung minimal mengerti saving bassic account, itu dulu jangan kredit tapi menabung,” ujarnya.
Sudirman mengaku terjun langsung ke lapangan melihat potensi di sana. Dia takjub dengan transaksi jual beli peternak daging kambing etawah. Daging-daging kambing penghasil susu itu kemudian dijual ke Serikin, Malaysia.
“Pagi-pagi sekali, mereka membawa kambing dengan motor sepanjang 20 kilometer ke Serikin dan dijual ke sana. Di Serikin ada 300-400 pedagang dan pembeli daging dan susu kambing,” tuturnya.
Gerakan Non Tunai
Saya menjumpai Stepanus, seorang pedagang warung kopi di Kecamatan Badau, Kabupaten Kapuas Hulu. Dia rutin menyambangi Lubuk Antuk, Malaysia, minimal seminggu sekali dalam sebulan.
Stepanus kala itu hendak menukarkan uang kertas kepada Bank Indonesia yang membuka layanan pertukaran uang di BPD Kalbar Capem Badau. Uang kertas pecahan Rp1.000, Rp2.000, dan Rp5.000 yang ditukarkannya dalam kondisi buruk, koyak, dan beberapa di antaranya ada tempelan plester.
“Pakai uang rupiah ke Malaysia malu, orang (pedagang) Malaysia tidak mau terima uang rupiah yang ada coretan pulpen dan koyak. Saya malu dengan uang kita, belum lagi sering ganti pahlawan,” ujarnya kesal.
Biang permasalahannya, pada jauhnya akses jaringan antara kantor capem Badau dan cabang di Semitau jika melalui jalur pintas melewati jalur perkebunan kelapa sawit dengan tanah merah bergelombang dan berdebu kala musim kemarau dan becek pada musim penghujan. Jalur ini memang lebih singkat 2-3 jam.
Sementara, jika melewati jalur normal, menuju Kantor Cabang Pembantu BPD Kalbar Kota Putussibau memerlukan waktu lebih dari 5 jam. Sehingga bukan hal heran, jika bank kesulitan untuk mengantar uang baru kepada masyarakat perbatasan.
Tak bisa dipungkiri, alat pembayaran di wilayah pelosok jauh dari perkotaan masih didominasi dengan alat tunai seiring dengan tingkat perputaran uang yang tinggi. Di perbatasan tidak hanya ada perdagangan antar barang dan jasa, melainkan terdapat tenaga kerja perkebunan kelapa sawit, pegawai negeri sipil (PNS) kecamatan dan medis, TNI dan Polri hingga tempat hilir mudiknya para tenaga kerja Indonesia (TKI) yang melewati pintu perbatasan resmi.
Kepala Bank Indonesia Perwakilan Kalbar Dwi Suslamanto mengatakan penggunaan uang tunai rentan kejahatan, seperti pencurian, pemalsuan uang dan cepat lusuh. Oleh karena itu, di tengah transaksi keuangan masih dominan dengan uang tunai itu, penting adanya gerakan nasional nontunai (GNNT) di wilayah perbatasan Kalbar.
Dengan non tunai, Bank Indonesia, menurutnya, diharapkan ke depan tidak perlu lagi bank sentral mengantar uang baru kertas ke kabupaten-kabupaten dengan kawalan polisi bersenjata.
“Transaksi cepat, bisa dalam jumlah besar, aman, dan bagi pemerintah daerah bisa mengurangi kebocoran anggaran dan salah sasaran serta meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD),” kata dia.
Sejumlah alat pembayaran non tunai, sarannya, dengan ATM, kartu kredit, atau kartu debet. Alat lainnya, dengan menggalakkan penggunaan handphone dan smartphone untuk transaksi keuangan baik dengan orang atau perbankan.
Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Perwakilan Kalbar Asep Ruswandi mengutarakan untuk membuka kantor pelayanan bank membutuhkan biaya yang sangat tinggi. Dengan demikian, solusinya yakni dengan mendorong sarana agen laku pandai atau layanan keuangan tanpa kantor.
“Itu untuk membantu pemerintah daerah dan bank supaya masyarakat mau menabung ke bank dengan sistem agen telepon genggam dan mesin electronic data capture (EDC) yang bekerjasama dengan bank,” terang Asep.
Dia mengatakan dari 4 bank yang ditunjuk oleh OJK menjalankan agen laku pandai seluruh Indonesia yaitu Bank Central Asia (BCA), Bank Mandiri, dan Bank Tabungan Pensiunan Naional (BTPN), dan Bank Rakyat Indonesia (BRI), baru bank terakhir yang telah menerapkan agen laku pandai di Kalbar.
“Tujuannya, bank bisa lebih mendekatkan diri dengan masyarakat yang jauh jaraknya dengan kantor. Warga tidak perlu pergi jauh-jauh ke bank untuk menabung dan pinjam uang tetapi tinggal menyetor dan ambil uang ke agen yang telah ditunjuk bank,” kata Asep.
Kepala BRI Cabang Pontianak Sutaryo mengutarakan sudah meluncurkan agen laku pandai di Kecamatan Jawai, Kabupaten Sambas pada Maret 2015 lalu. Hingga saat ini, pihaknya belum berencana membuka agen laku pandai di wilayah perbatasan.
Untuk menetapkan agen bank mempertimbangkan banyak aspek bisnis yakni a.l, harus nasabah BRI, minimal memiliki usaha menjual kebutuhan pokok masyarakat, warga sekitar dan dipercaya untuk ditunjuk sebagai agen, dan potensi ekonomi yang bagus.
Sejak diluncurkan pada Maret 2015, satu agen di Jawai itu untuk 1 hari telah melakukan 25 transaksi dan 750 transaksi setiap bulan atau senilai Rp1,2 miliar per bulan. “Sekarang sudah ada 267 agen dari target untuk seluruh Kalbar sebanyak 282 agen. Memang belum ada agen ditempatkan di wilayah perbatasan,” ungkapnya.
Sutaryo mengatakan syarat-syarat menjadi agen BRI, sebagai berikut: nasabah BRI, memiliki simpanan minimal Rp500.000, melek teknologi, pedagang dan lokasi antara agen dan kantor cabang kas BRI sangat jauh.
“Bermodalkan mesin EDC, kami berharap agen bisa meningkatkan DPK dari bank karena dengan adanya agen maka memudahkan masyarakat yang ingin mentransfer uang. Di Jawai, lokasi agen ke bank kantor kas sejauh 10 kilometer.” []