Bisnis.com, JAKARTA – Otoritas Pajak menjanjikan akan mematok batas maksimal sanksi administrasi penagihan utang pajak berupa denda bunga sebesar 48% dari sebelumnya tidak ada batasan tergantung masa pelunasan.
Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito mengatakan langkah tersebut dilakukan sejalan dengan revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang telah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2015.
“Nah, Undang-Undang [KUP] ini kita ubah, [bunga maksimal] 48% atau dua tahun. Di UU lama enggak ada batas maksimalnya,” ujarnya.
Menurutnya, dengan tidak ada batasan jangka maksimal denda utang seperti yang terjadi saat ini membuat sanksi denda atas utang terkadang melebihi utang pokoknya. Kondisi ini, sambungnya, justru memberatkan wajib pajak (WP).
Dalam pasal 19 UU KUP disebutkan jika pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang bayar pajak, atas jumlah tersebut dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan untuk seluruh masa. Denda tersebut dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak. Bagian dari bulan pun dihitung satu bulan penuh.
Adapun tambahan besaran jumlah pajak yang harus dibayar itu muncul setelah adanya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali.
Sigit berujar sebelum menetapkan kebijakan tersebut, otoritas pajak memberikan peluang bagi WP yang masih mempunyai utang pajak lima tahun terakhir untuk segera melunasi utang pokoknya tanpa harus membayar sanksi bunga utangnya.
Kebijakan yang ada dalam Tahun Pembinaan ini sudah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 29/PMK.03/2015 terkait penghapusan sanksi administrasi bunga yang terbit berdasarkan pasal 19 Ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), yang diteken Menkeu 13 Februari lalu.
WP yang melunasi utang pajak sebelum tanggal 1 Januari 2016 diberikan penghapusan sanksi administrasi. Artinya, dengan keluarnya PMK tersebut, beleid pembayaran bunga 2% per bulan dengan sendirinya gugur hingga 1 Januari 2016. Namun utang pajak yang dibebaskan sanksi administrasinya hanya utang yang muncul sebelum 1 Januari 2015.
Dimintai tanggapan, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai langkah pemberian batasan maksimal itu sangat penting untuk mendudukkan kembali maksud dan tujuan sanksi perpajakan.
“Ada kepastian bagi WP supaya memacu tindakan penagihan aktif juga. Selain itu, juga adil karena bunga yang berjalan itu salah satunya diakibatkan oleh proses penagihan aktif,” tuturnya.
Menurutnya, dalam Undang-Undang No. 19/2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebenarnya telah dinyatakan penagihan pajak selesai 60 hari dan boleh menganggsur maksimal 12 bulan.
Prastowo menambahkan sejalan dengan perubahan batasan tersebut, permasalahan yang harus dibenahi selanjutnya yakni terkait aturan dan metode penagihan pajak yang efektif. Pembenahan itu, lanjutnya, bisa dilakukan melalui delinquency audit, yakni mendata kekayaan penanggung pajak saat pemeriksaan sehingga memudahkan eksekusi.
Selama ini problem besarnya ada pada ketetapan pajak yang sering kali memuat nilai fantastis dan tidak realistis sehingga menimbulkan ketidakadilan saat data tersebut dijadikan objek penagihan. “Saatnya fungsi quality assurance dioptimalkan supaya hasil auditnya bagus,” tegasnya.
Aturan pengurangan hingga penghapusan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang memang bisa dilakukan oleh Dirjen Pajak dan diatur lewat Peraturan Pemerintah (PP) No. 74/2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.