Bisnis.com, JAKARTA Melambatnya laju produk domestik bruto kuartal II/2015 menguatkan sinyal risiko terus terkontraksinya penerimaan pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah hingga akhir tahun.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan sinyal tekanan konsumsi semester II/2015 sejatinya dapat terlihat dari penurunan impor pada kuartal II/2015 yang tercatat minus 6,85% setelah penurunan terbesar pada konsumsi lembaga non profit rumah tangga (LNPRT) minus 7,91%.
Kurtal II impor turun jelas PPN turun, lalu ekspor barang hasil olahan juga turun karena berimbas pada output industri, ujarnya kepada Bisnis.com, Kamis (6/8/2015).
Menurutnya, daya beli masyarakat yang masih tergerus pada akhirnya membuat pengusaha juga mengurangi belanja produksinya. Kondisi ini, lanjut dia, juga berimbas pada penurunan penerimaan pajak atas konsumsi, baik PPN maupun PPnBM.
Apalagi, akumulasi tergerusnya daya beli masyarakat dan tren pelemahan nilai tukar rupiah pada gilirannya membuat prospek bisnis usaha industri pengolahan sektor penyumbang terbesar produk domestik bruto kuartal III masih melemah.
Gambaran itu terlihat dari hasil Survei Tendensi Bisnis kuartal II/2015 yang dirilis Badan Pusat Statistik. Indeks Tendensi Bisnis (ITB) usaha industri pengolahan pada kuartal tersebut berada di level 106,02. Namun, pada kuartal III, capaian ITB itu diperkirakan merosot di level 105,31.
Risiko terkontraksinya penerimaan pajak atas konsumsi itu, sambung Prastowo, sudah tidak terhindarkan lagi. Apalagi, hingga akhir Juli, dalam rilis data Ditjen Pajak (DJP) disebutkan penerimaan PPN dan PPnBM baru mencapai Rp202,7 triliun atau hanya 35,2% dari target APBNP 2015 senilai Rp576,5 triliun.
Dengan capaian itu, penerimaan di pos tersebut masih menunjukkan gap yang cukup lebar karena terkontraksi 6,22% dari realisasi per 31 Juli 2014 senilai Rp216,1 triliun. Realisasi itu juga menunjukkan tingkat koreksi yang lebih dalam dari bulan sebelumnya mencapai 5,5%.
Dalam rilisnya, DJP memaparkan perlambatan ekonomi masih terasa hingga awal kuartal III/2015 yang ditandai dengan melemahnya nilai tukar rupiah dan penurunan impor hingga akhir Juli. Perlambatan ekonomi, masih dalam rilis itu, juga memicu penurunan konsumsi dalam negeri yang berkontribusi pada penurunan penerimaan PPN dalam negeri 0,46%.
Penurunan terbesar PPnBM dalam negeri dipicu oleh kebijakan pemerintah yang menghapus beberapa barang dari daftar barang mewah yang wajib dikenakan PPnBM, tulis DJP.
Prastowo menilai kendati bayangan kelesuan ekonomi yang berimbas pada penerimaan pajak atas konsumsi tidak terhindarkan, pemerintah masih bisa melakukan ekstensifikasi yang lebih optimal agar realisasi tidak terkontraksi lebih dalam.
Dari sisi supplier dan distribusi. Masih banyak sebenarnya yang belum jadi pengusaha kena pajak sehingga faktur bolong. Setidaknya membantu agar tidak terjun bebas, tuturnya.
Terpisah, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro masih optimistis penerimaan pajak atas konsumsi tersebut masih lebih baik dari capaian tahun lalu Rp408,9 triliun. Kendati demikian, pihaknya masih tetap memproyeksi penerimaan pajak secara keseluruhan hingga akhir tahun mencapai 91,5%
Sudah pernah saya sampaikan 91,5% itu penerimaan pajak. PPN-nya lebih baik sedikit dari tahun lalu, tegasnya.
Pihaknya masih cukup optimistis akan peningkatan performa dari pajak atas konsumsi tersebut karena otoritas pajak akan menerapkan faktur pajak elektronik untuk Jawa dan Bali. Menurutnya, selama ini rendahnya penerimaan PPN dikarenakan banyaknya kebocoran dari faktur pajak fiktif.
Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito sebelumnya mengatakan outlook penerimaan PPN dan PPnBM memang bisa di bawah 90% di tengah kondisi perekonomian yang masih tumbuh melambat. Apalagi, beberapa konsumsi barang seperti produk otomotif, rokok, dan rumah menunjukkan angka penurunan.
Enggak bisa [digenjot] lagi, itu mentok karena kondisi ekonominya seperti ini. Lihat saja pejualan mobil lebih sedikit dibandingkan tahun lalu, ujarnya belum lama ini.
Terkait kebocoran PPN dari faktur pajak fiktif, lanjutnya, sebenarnya tidak terlalu besar dari total penerimaan pos ini. Menurutnya, angka kebocoran dari faktur fiktif yang sekarang mulai diantisipasi dengan faktur elektronik hanya sekitar 5% dari keseluruhan penerimaan PPN.