Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Industri farmasi Minta Pemerintah Tekan Impor Bahan Baku

Kalangan pengusaha Jawa Timur mendesak pemerintah provinsi segera merealisasikan strategi penyelamatan industri di tengah pelemahan ekonomi, khususnya bagi sektor-sektor prospektif dengan dependensi bahan baku impor yang tinggi.
Ilustrasi/Antara
Ilustrasi/Antara

Bisnis.com, SURABAYA—Kalangan pengusaha Jawa Timur mendesak pemerintah provinsi segera merealisasikan strategi penyelamatan industri di tengah pelemahan ekonomi, khususnya bagi sektor-sektor prospektif dengan dependensi bahan baku impor yang tinggi.

Salah satunya adalah industri farmasi Jatim, yang selama paruh pertama 2015 hanya mampu tumbuh 15% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Padahal, 90% bahan baku produksi sektor tersebut masih didatangkan dari luar negeri.

Ketua Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia DPP Jatim Paulus Lusida mengungkapkan sebagian besar bahan baku industri farmasi masih diimpor dari China dengan presentase 60%. Sementara itu, 30% dan 10% masing-masing dibeli dari India dan Eropa.

“Karena tingginya ketergantungan bahan baku impor itulah, para produsen produk farmasi terpaksa melakukan penyesuaian harga hingga 10%. Apalagi, nilai tukar dolar [AS] tengah menguat,” jelasnya.

Bagaimanapun, dia menilai peluang industri farmasi di Jatim tahun ini masih terbuka seiring dengan adanya mandatori keanggotaan BPJS Kesehatan bagi pegawai swasta dan PNS. Regulasi tersebut, menurutnya, berdampak langsung pada perluasan pasar produk farmasi.

Selain itu, produk obat-obatan generik masih mendominasi 80% pangsa pasar Indonesia. Bahkan, obat generik buatan industri farmasi RI telah menguasai pangsa pasar ekspor global sebesar 10%.

Dengan pertimbangan tersebut, para pelaku industri farmasi berani menargetkan pertumbuhan omzet senilai Rp65 triliun tahun ini. “Namun, masalahnya kami harus mengembangkan bahan baku lokal agar komponen impornya tidak membengkak.”

Selain farmasi, industri prospektif lain yang tengah lesu akibat tingginya ketergantungan impor adalah kulit dan produk dari kulit. Padahal, sektor tersebut memberi sumbangsih cukup besar terhadap ekspor nonmigas Jatim.

Ketua Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Jatim Isdarmawan Asrikan mengungkapkan mahalnya bahan baku asing dan tidak mencukupinya stok bahan baku lokal menyebabkan banyak pengrajin produk kulit di provinsi tersebut gulung tikar.

“Saya sudah cek di sentra industri kulit Tanggulangin [Sidoarjo], yang pernah jaya dan menjadi salah satu ikon Jatim. Di sana keadaannya sekarang banyak berubah dan sudah banyak yang tutup. Sebagian besar sekarang malah menjual tas buatan China,” tuturnya, Selasa (30/6/2015).

Salah satu langkah yang ditempuh pelaku usaha untuk bertahan adalah melakukan relokasi ke kawasan-kawasan dengan upah tenaga kerja yang lebih murah. Hal itu adalah strategi untuk menambal sulam biaya produksi yang mahal akibat bahan baku impor.

Isdarmawan menilai lini industri di Jatim yang masih berpeluang tumbuh positif tahun ini adalah sektor-sektor yang sebagian besar bahan bakunya berasal dari dalam negeri, yaitu perhiasan dan permata, ikan dan udang, tembaga, furnitur, dan kerajinan tangan.

“Bahan baku substitusi dari dalam negeri harus diprioritaskan oleh pemerintah,” tegas Isdarmawan. Dia melanjutkan industri perkebunan juga tengah terancam krisis akibat jatuhnya harga komoditas. Padahal, Jatim adalah salah satu sentra perkebunan nusantara.

Oleh karena itu dia mendesak pemerintah pusat dan provinsi harus berdialog dengan para pelaku industri pengolahan dan perkebunan untuk mencari solusi bersama.

Berdasarkan laporan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Timur, industri di Jatim tengah mengalami kontraksi khususnya untuk industri pengolahan. Kontraksi terutama terjadi pada industri kendaraan bermotor (-12,2%), kulit (-7,5%), dan farmasi (-5,5%).

Deputi Kepala Perwakilan BI Jatim Soekowardojo sebelumnya menjelaskan kontraksi tersebut dipengaruhi kebijakan administered domestik dan kondisi global.

Adapun, perlambatan pada sektor pertanian terjadi utamanya pada subsektor tanaman pangan. “Ini dipicu pergeseran musim tanam akibat mundurnya musim hujan.” 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper