Bisnis.com, BANDUNG—Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Jawa Barat mengharapkan wacana pelonggaran loan to value (LTV) pada uang muka kredit rumah benar-benar direalisasikan sehingga memacu kembali gairah pasar properti.
Ketua REI Jabar Irfan Firmansyah mengatakan pelonggaran LTV dapat menjadi salah satu keringanan bagi industri properti yang saat ini tengah dalam kondisi cukup sulit.
"Kita perlu tahu dulu juga kelonggaran LTV ini diberlakukan pada pembelian rumah ke berapa dan menjadi berapa persen? Karena bagaimana pun salah satu penyebab sulitnya industri properti saat ini beratnya uang muka," katanya kepada Bisnis, Senin (18/5/2015).
Dengan pelonggaran LTV, tenor lebih lama dan bunga yang diharapkan pun lebih kecil sehingga hal tersebut mampu mendorong penjualan rumah. Sebab, karakteristik mayoritas konsumen di Indonesia mampu membeli properti dengan skema kredit atau mencicil.
Sebaliknya, ketika uang muka yang disetorkan harus lebih besar, para konsumen cenderung merasa kesulitan.
“Misalnya, pada pembelian rumah dengan uang muka 30% bukan jumlah yang sedikit bagi konsumen. Mereka kerap kesulitan dengan hal tersebut,” ujarnya.
Irfan mengungkapkan uang muka yang cukup ideal yakni 10%, di mana angka tersebut tidak terlalu kecil dan tidak terlalu besar. Ketika uang muka terlalu kecil, menurutnya juga sangat berbahaya karena cicilan yang besar dan lama sangat berisiko bagi konsumen.
“Uang muka 10% sesuai karena nantinya akan memberikan rasa memiliki kepada konsumennya,” ujarnya.
Kebijakan LTV yang dikeluarkan ini memang diyakini dapat membatasi ruang gerak para spekulan properti yang beraksi.
"Di Jabar sendiri, kepemilikan rumah itu didominasi oleh mereka yang ingin memiliki rumah pertama. Artinya, secara umum hal ini tidak terlalu menghawatirkan para pengembang," ujarnya.
Kendati demikian, dia mengungkapkan rumah komersil khususnya rumah kedua dan seterusnya merupakan segmen rumah yang memiliki konsumen menjanjikan, sehingga tidak berpengaruh apakah akan ada pelonggaran LTV atau tidak.
"Selisih uang muka yang hanya 10%-20% pasti bukan menjadi masalah bagi investor properti segmen seperti mereka karena dengan lebih besarnya uang muka, kredit pun semakin ringan atau lebih singkat," katanya.
Asosiasi Pengembang Perumahan Rakyat Seluruh Indonesia (AP2ERSI) menyatakan kondisi rupiah yang lemah mempengaruhi daya beli masyarakat untuk membeli properti.
Ketua AP2ERSI Fery Sandiyana mengatakan daya beli masyarakat saat ini sedikit lebih mengesampingkan kebutuhan properti karena masih lebih mementingkan kebutuhan sehari-hari yang juga beberapa ikut merangkak naik.
"Perkiraan, pada tahun ini kebijakan masih akan tetap karena bank juga pasti mempertimbangkan daya beli yang saat ini sedang rendah," ujarnya.
Sementara itu Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat meminta DPR dan pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Ketua Apindo Jabar Dedy Widjaja mengatakan adanya RUU Tapera mampu menolong masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) terutama buruh untuk mendapatkan rumah layak huni.
"Hal ini selaras dengan program pemerintah yang membangun sejuta rumah MBR," ujarnya.
Menurutnya, jika program seperti satu juta rumah ditopang dengan UU Tapera maka akan sangat membantu kalangan MBR yang selama ini masih kesulitan mendapatkan rumah layak huni.