Bisnis.com, BANDUNG—Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KP3) Jawa Barat meminta pemerintah kabupaten/ kota di kawasan itu intensif berkomunikasi bersama kelompok tani, menyusul keterlambatan rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK) pupuk bersubsidi yang kerap terjadi setiap tahun.
Ketua KP3 Ferry Sofwan Arif mengatakan keterlambatan RDKK yang kerap terjadi disebabkan kurangnya pengendalian dari pemerintah kabupaten/kota. Pasalnya, pemkot/pemkab wajib berkomunikasi langsung dengan kelompok tani.
"Pihak Pemprov Jabar hanya bisa melakukan pengawasan dan evaluasi saja. Untuk rekomendasi berada di tingkat kabupaten/kota," ujarnya kepada Bisnis, Rabu (6/5).
Jika komunikasi dilakukan secara intensif maka tidak akan ada persoalan ketika pemerintah pusat mengabulkan permintaan realisasi pupuk bersubsidi.
Kendati demikian, RDKK yang disampaikan ke pemerintah pusat bukan berarti sepenuhnya dikabulkan. Sebab, di tingkat pemerintah pusat ada pertimbangan lain yang membuat alokasi pupuk bersubsidi tidak sesuai dengan rekomendasi.
"Sekarang ramai diperbincangkan yakni alokasi pupuk berbeda dengan yang direalisasikan. Jadi, pemerintah kabupaten/ kota harus bisa menjelaskan kepada kelompok tani ," ujarnya.
Menurutnya, masalah yang paling penting saat ini yakni saat distribusi yang harus diperbaiki, sebab seringkali terjadi penyelewengan terutama di wilayah perbatasan.
“Persoalan distribusi banyak terjadi akibat adanya oknum yang menjual tidak kepada petani, tapi ke perkebunan swasta maupun pemerintah. Dengan kata lain, bicara distribusi berarti membahas apakah pupuk ini sudah terjual efektif atau tidak,” ujarnya.
Ketua Harian Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jabar Entang Sastraatmadja meminta pemerintah kabupaten/kota menerbitkan Peraturan Daerah atau Perda tentang Pendistribusian Pupuk Bersubsidi mengingat banyaknya dugaan penyelewengan di lapangan.
Dia mengatakan selama ini pendistribusian pupuk bersubsidi hanya merujuk pada surat keputusan (SK) kementerian terkait yakni Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan.
Dengan demikian, ujarnya, pendistribusian pupuk tersebut seringkali banyak disalahgunakan di lapangan akibat tidak adanya peraturan daerah (Perda) yang memperkuat SK itu.
Kondisi tersebut mengakibatkan kalangan petani di beberapa daerah selalu mengaku kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi menjelang masa tanam.
Menurutnya, bila pemerintah kabupaten/kota menerbitkan aturan itu maka mekanisme pengelolaan pupuk bersubsidi benar-benar sesuai dengan harapan dan aspirasi para petani di perdesaan.
“Selama ini pendistribusian pupuk bersubsidi dilakukan secara tertutup dari pabrik ke distributor, lalu ke pengecer, dan terakhir petani.”