Bisnis.com, JAKARTA – Gabungan Eksportir Kopi Indonesia (Gaeki) mengeluhkan rendahnya volume biji kopi dan kopi olahan berkualitas yang diekspor sehingga jumlah nilai investasi yang didapatkan cenderung turun dalam beberapa tahun terakhir.
Gaeki mencatat nilai ekspor kopi robusta dan arabika pada tahun lalu turun 10% dari US$ 1,43 miliar pada 2013 menjadi US$ 1,3 miliar pada 2014.
Rinciannya, ekspor biji kopi mencapai 380.000 ton sedangkan kopi olahan 90.000 ton tahun lalu. Volume itu diperkirakan menurun sebesar 20% dari tahun sebelumnya.
Ketua Umum Gaeki Hutama Sugandhi mengatakan penurunan nilai ekspor dikarenakan melorotnya standar mutu kopi yang diekspor dalam lima tahun terakhir. Standar mutu ditentukan tergantung pada nilai cacat kopi.
Kopi grade 1 dan grade 2 merupakan klasifikasi untuk kopi yang diolah dengan nilai cacat kurang dari 25%. Nilai cacat grade 3 berkisar antara 26%-44%, nilai cacat grade 4 antara 45% - 80%, sedangkan nilai cacat grade 5 dan grade 6 antara 81-225%.
Pada 2010, Hutama menjelaskan nilai ekspor kopi didominasi oleh kopi berkualitas grade 4 sebesar 65%, gabungan grade 1 & grade 2 sebesar 10%, grade 3 sebesar 10% dan grade 5 &6 sebesar 15%.
Saat ini, dia mengatakan komposisi mutu kopi yang diekspor malah melorot di tengah tingginya permintaan dunia. Hutama menjelaskan volume kopi kualitas grade 4 yang diekspor hanya 45% dan malah beralih turun ke grade 5 & 6 sebesar 30%.
“Volume ekspor kopi berkualitas yang standarnya ada di grade 4 turun terus lima tahun terakhir. Tapi ini tiap tahun grade yang berkualitas bagus malah turun terus jadi jumlah nilai juga turun,” katanya seperti dikutip Bisnis.com, (1/4/2015).
Di sisi lain, Hutama mengatakan pemerintah tidak kunjung mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian terkait standar kopi nasional yang pembahasannya sudah dilakukan sejak 3 tahun lalu.
Padahal, dengan adanya standar kopi nasional berkelanjutan yang diproduksi dapat membuat nilai ekspor komoditas itu merangkak sekaligus membuat peningkatan pendapatan untuk petani kopi.
“Dengan climate change, harusnya sustainable dengan tujuan sertifikasi dan nilai ekspor kita juga seharusnya meningkat. Tapi kan ini Kepmennya tidak keluar-keluar,” katanya.
Imam Suharto, Senior Coffee Program Manager The Sustainable Trade Initiative (IDH) mengatakan permasalahan mutu dan kualitas kopi dalam negeri dapat diperbaiki dengan diluncurkannya platform pengembangan kopi nasional berkelanjutan melalui Sustainable Coffee Platform of Indonesia (Scopi).
Nantinya, platform tersebut akan menerapkan model inovatif kemitraan antara pemerintah-swasta yang salah satu fokusnya meningkatkan produktivitas petani kopi sambil tetap mengedepankan unsur menjaga lingkungan.
Imam mengatakan masih ada gap yang tinggi antara produksi kopi dalam negeri dengan Vietnam. Produktivitas kopi robusta lokal saat ini hanya 750 kg/ ha dan Arabika lokal 500 kg/ha sedangkan Vietnam mampu memproduksi 2,5 ton per ha.
Nantinya, Scopi akan mendorong sertifikasi kopi sesuai standar yang diinginkan nasional namun juga mengadopsi standar sustainable yang diinginkan konsumen internasional seperti yang diterapkan di Eropa dan Amerika Serikat.