Bisnis.com, BANDUNG - Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jawa Barat menilai naiknya harga pembelian pemerintah (HPP) gabah dan beras 10% tidak akan berpengaruh besar terhadap kesejahteraan para petani.
Entang Sastraatmadja, Ketua HKTI Jabar, mengatakan persoalan yang terjadi saat ini bukan dilihat dari berapa persen naiknya HPP melainkan bagaimana struktur HPP itu sendiri.
"Pengaruh kesejahteraan itu ada, tetapi kecil bahkan tidak ada artinya apa-apa. Misalnya ketika pemerintah menaikkan HPP gabah dari Rp3.300 per kilogram menjadi Rp3.700 per kilogram serta beras dari Rp4.500 per kilogram menjadi Rp5.000 per kilogram, apakah itu layak bagi petani dengan situasi seperti saat ini?" katanya kepada Bisnis.com, Rabu (18/3/2015).
Menurutnya, permasalahan tersebut jangan dipandang sederhana karena terkait dengan kebijakan pemerintah lainnya. HPP seharusnya tidak menjadi dasar keberpihakan pemerintah terhadap petani.
“Keberpihakan itu jangan hanya saat ini saja ketika harga beras naik baru pemerintah cepat tanggap. Akan tetapi, harus ditujukan setiap saat,” ujarnya.
Dia mencontohkan ketika petani di Indramayu merasa senang karena memasuki masa panen raya, rupanya mereka harus merugi karena banjir yang disebabkan oleh tanggul yang jebol.
"Intinya tidak ada makna besar dari penaikan HPP 10% ini, karena memang sejak dua tahun yang lalu HPP tidak pernah naik. Dengan harga stagnan, petani juga harus menghadapi inflasi dan lain sebagainya, sehingga penaikan 10% saat ini tidak bisa melawan inflasi," ujarnya.
Entang mengungkapkan salah satu cara untuk mengangkat kesejahteraan petani padi yakni mengkaji secara serius tentang kebijakan harga yaitu harga pangan.
Dia menilai ketika kebijakan harga pangan masih murah, maka sulit bagi petani padi di Indonesia untuk hidup dengan sejahtera.
Menurutnya, selama ini pangan khususnya beras masih menjadi komoditas politik atau bukan komoditas yang memiliki nilai ekonomi sebagaimana seharusnya.
Entang menilai yang dipikirkan pemerintah hanya bagaimana caranya konsumen tidak merugi dan produsen juga tidak tertekan. "Itu semua hanya kebijakan untuk menjaga stabilitas harga, karena memang harga pangan ini hanya politis dan tidak ada nilai ekonominya," ujarnya.
Ketua DPD RI Irman Gusman mengatakan adanya penaikan HPP diharapkan mampu memotivasi petani meningkatkan produksi gabahnya.
Irman menilai HPP yang berlaku saat ini sudah tidak relevan lagi dengan kondisi yang terjadi karena diberlakukan sejak akhir 2011 atau sudah tiga tahun berjalan.
Dengan inflasi sekitar 6%, maka dalam tiga tahun apabila diakumulasikan terjadi inflasi sebesar 18%.
"Makanya, wajar kalau HPP beras naik setidaknya 10%. Logikanya HPP harus sudah naik. Supaya petani ada insentif untuk tetap menanam padi," katanya.
Irman pun menegaskan bahwa dirinya tidak setuju dengan wacana impor beras. Hal ini karena mendatangkan beras dari luar negeri akan mengancam ketahanan dan kedaulatan pangan nasional.
Menurut dia, penaikan harga yang terjadi saat ini disebabkan pemerintah tidak berkomunikasi secara intens dengan Bulog.
Selain itu, dirinya mendorong agar ada pengembalian fungsi Bulog sebagai penyangga pangan bukan perusahaan umum (Perum) yang diberi tugas untuk mencari keuntungan.
Perum hanya digunakan untuk manajemen. Negara lewat bulog jadi stabilisator. Apabila terjadi kelangkaan di pasar, Bulog harus turun tangan dengan 'membanjiri' pasar dengan beras yang dimilikinya.
"Dalam waktu dekat saya akan bicara dengan presiden. Pembinaan Bulog di bawah BUMN tidak apa-apa, tetapi dalam menjaga stabilitas harus berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan karena melonjaknya harga banyak implikasi negatif," ujarnya.