Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

UTANG YUNANI: Peraih Nobel Ekonomi Kritik Keras ECB dan IMF

Bangkitnya partai sayap kiri Syriza di Yunani yang kemudian direspons negatif oleh Bank Sentral Eropa (ECB) dan Dana Moneter Internasional (IMF) mengundang kritik keras. n
Peraih Nobel Ekonomi pada 2001 Joseph Stiglitz./Reuters
Peraih Nobel Ekonomi pada 2001 Joseph Stiglitz./Reuters

Bisnis.com, JAKARTA - Bangkitnya partai sayap kiri Syriza di Yunani yang kemudian direspons negatif oleh Bank Sentral Eropa (ECB) dan Dana Moneter Internasional (IMF) mengundang kritik keras.

Ekonom menilai lembaga kreditor global sudah waktunya memiliki kerangka restrukturisasi utang baru yang propertumbuhan. Joseph Stiglitz, peraih Nobel ekonomi 2001, mengungkapkan langkah-langkah pengetatan telah berulangkali mengalami kegagalan.

Kegagalan bahkan telah dialami sejak crash yang dialami pasar ketika Depresi Besar pada 1930-an, program IMF terhadap negara-negara Asia dan Amerika Latin selama beberapa dekade terakhir dan belakangan, untuk Yunani.

Ketika Negeri Para Dewa dipimpin oleh PM Antonis Samaras yang sangat taat pada troika (sebutan warga Yunani untuk ECB dan IMF), lanjut Stiglitz, tidak mengejutkan jika kebijakan pengetatan justru menghancurkan ekonomi negara tersebut.

Tercatat, tingkat pengangguran tahun lalu melesat ke level 22%, pertumbuhan terkontraksi hingga 22% sejak 2009 dan rasio utang terhadap PDB (debt-to-GDP ratio) meroket ke kisaran 35%. Meskipun, anggaran yang semula defisit menjadi surplus. Untuk itu, kebijakan moneter ketat dipandang telah ketinggalan zaman.

"Sudah cukup. Begitu sikap yang jelas dinyatakan oleh publik Yunani dengan kemenangan partai antipengetatan Syriza," kata Sitglitz dalam sebuah laporan bertajuk 'Who is to blame for Greece's Troubles?', Jumat (6/2/2015).

Stiglitz memaparkan Yunani tidak bisa disalahkan atas merosotnya perekonomian karena Spanyol juga memiliki rasio utang rendah dan surplus anggaran sebelum depresi Eropa.

Menurutnya, yang dibutuhkan bukanlah reformasi struktural kedua negara itu, melainkan perombakan besar-besaran desain zona euro. Yunani, tuturnya, juga mengingatkan kepada publik bagaimana kerangka restrukturisasi utang yang dianut lembaga-lembaga keuangan dunia telah usang.

Pasalnya, kolaborasi pengetatan dan kerangka tersebut juga gagal pada krisis Amerika Latin 1980an, krisis Asia 1990an dan terakhir, Eropa pada 2008.

Untuk itu, jelas Stiglitz, pada level internasional publik perlu mendukung PBB bersama mayoritas negara-negara berkembang yang telah menginisiasi terbentuknya kerangka restrukturisasi yang benar-benar baru. "Namun, AS dengan tegas menolak rencana ini."

Profesor Columbia University ini mengungkapkan saat ini banyak negara yang berada pada posisi sama dengan Yunani, yang diperlakukan secara kurang fair oleh lembaga-lembaga kreditor.

Akhirnya, kata Stiglitz, yang disebut sebagai restrukturisasi utang menjadi ketiadaan restrukturisasi itu sendiri. "Jika Eropa menolak hasil pemilu Yunani dengan menantang kebijakan Syriza, berarti regional itu telah menolak demokrasi," tegasnya.

Padahal, lanjut Stiglitz, jika Yunani bisa mengatasi problem pengangguran, para kreditornya akan mendapat uang lebih banyak. Dengan demikian, ujarnya, kedua belah pihak bisa bersama-sama menempuh langkah propertumbuhan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Arys Aditya
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper