Bisnis.com, JAKARTA—Konsumsi plastik domestik dinilai rendah dibandingkan negara Asean lain sehingga memberi kesempatan terbukanya pasar lebih besar bagi produsen plastik hilir.
Presiden Asosiasi Industri Plastik Hilir Indonesia (Aphindo) Tjokro Gunawan mengatakan Thailand kebutuhannya sektiar 50 kilogram per tahun per kapita, sedangkan Indonesia hanya 10 kg. Ini menunjukan besarnya potensi RI mengingat penduduknya setara 60% populasi Asean.
“Potensi plastik di Indonesia masih besar karena secara rasio kita paling kecil. Untuk tingkatkan dan penuhi kebutuhan maka hulu harus dipacu agar ekspansi,” kata Tjokro, Kamis (5/2/2015).
Sejalan dengan ekspansi di sektor hulu dalam hal ini industri petrokmia maka ketergantungan impor dapat dikikis. Dan demikianlah yang dilakukan produsen petrokimia, mereka berekspansi dan membangun pabrik baru dengan investasi miliaran dolar sampai 2019.
Penanaman kapital tersebut berasal dari PT Pertamina (Persero) dan PTT Global Chemical, PT Chandra Asri Petrochemical Tbk., dan PT Polytama Propindo. Kemitraan Pertamina dengan perusahaan Thailand untuk menggarap komplek petrokimia terintegrasi senilai US$8 miliar.
Chandra Asri menyuntik US$ 1,3 miliar ke dalam negeri dalam mendirikan pabrik styrene butadiene rubber (SBR) dan menambah kapasitas kilang nafta (naphta cracker). Sementara Polytama akan bangun membangun terminal penerima propilena impor seharga US$ 10 juta.
“Petrokimia terintegrasi baru Chandra Asri, kita bergantung kepada mereka. Mayoritas bahan baku kami masih impor, yang diproduksi di sini baru PP dan PE,” ujar Tjokro. Aphindo telah menyampaikan gagasan penurunan bea masuk kepada Kementerian Perindustrian, asosiasi diminta membuat kajian detil.
Secara umum pebisnis di industri kimia mengakui tekanan dari depresiasi rupiah terhadap dolar. Direktur Eksekutif Federasi Industri Kimia Indonesia (FIKI) Suhat Miyarso menyatakan kondisi berat dirasakan selama 2014 yang berujung kepada melesetnya target pertumbuhan dari 7% menjadi 6,5%.
Kondisi itu terpengaruh depresiasi rupiah, kenaikan tarif listrik industri, dan kisruh upah buruh. Pada 2015 secara umum iklim bisnis tetap dibayangi efek penguatan dolar AS. Tantangan lain berupa perubahan skema penghitungan tarif listrik dan merosotnya harga minyak mentah yang notabene bahan baku.
"Biasanya kalau minyak turun harga produk petrokimia pun turun, tetapi ini tidak bisa serta merta karena industri punya stok untuk tiga bulan, stok yang dipakai sekarang dibeli saat minyak masih mahal," ucap Suhat.
Sebagai contoh penurunan harga minyak memengaruhi harga petrokimia untuk bahan baku plastik, yakni propilena dan etilena. Ketika minyak di kisaran US$110 per barel, petrokimia ini dijual sekitar US$1.400 per ton.
Kini harga etilena dan propilena sekitar US$1.100 per ton dan berpotensi terus merosot, minimal US$900 per ton. Harga petrokimia yang dijual sekarang ini dihitung berdasarkan harga minyak US$70 - US$80 per barel.