Bisnis.com, JAKARTA—Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) belum dapat menerapkan layanan one stop service pada pelayanan terpadu satu pintu atau PTSP yang akan diresmikan Presiden Joko Widodo 26 Januari tahun ini.
Franky Sabarani, Kepala BKPM, mengatakan investor masih harus mengurus izinnya di loket-loket yang ada di PTSP. Lembaga itu berjanji segera menyelesaikan aturan yang dapat mengkoordinasikan izin antar-kementerian dan lembaga untuk memudahkan investor menanamkan modalnya di dalam negeri.
"Kami sedang buat business process-nya, karena kami tidak hanya berbicara tentang proses perizinannya, tetapi juga kecepatan dan penyederhanaan izin yang harus diurus," katanya di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (19/1).
Franky menuturkan pemerintah berkomitmen untuk memangkas dan menghapus izin yang dianggap tidak perlu untuk meningkatkan investasi di Indonesia. Rumitnya perizinan di dalam negeri disebabkan banyaknya izin yang harus dilampirkan sebagai syarat untuk dikeluarkannya izin lain.
Dia mencontohkan izin pembangunan pembangkit listrik yang ternyata memerlukan 52 izin, dari 31 izin utama yang harus diurus. Meski demikian, penyederhanaan izin tersebut tidak akan mengorbankan hal yang krusial, seperti analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).
"Dengan adanya PTSP ini, izin untuk pembangunan pembangkit listrik bisa diselesaikan dalam 200 hari, di luar kepengurusan Amdal," ujarnya.
Menurutnya, setiap kementerian dan lembaga juga nantinya akan menempatkan pejabat eselon I di PTSP untuk mempercepat proses pengambilan keputusan. Saat ini, sudah ada eselon I dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang, serta pejabat eselon I yang terkait dengan pembangunan pembangkit listrik.
Sementara itu, Ferry Mursyidan Baldan, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, mengatakan investor harus mencantumkan kebutuhan lahannya dalam perencanaan investasi yang diajukan kepada pemerintah.
"Prinsipnya, sekarang pemahamannya harus kepada ganti rugi lahan milik masyarakat, bukan menggusur. Dengan begitu pengadaan lahan untuk investasi akan lebih cepat," katanya.
Ferry menuturkan lambatnya proses pengadaan lahan untuk investasi selama ini disebabkan pengusaha baru memikirkan pembebasan lahan saat mulai membangun pabriknya. Padahal, lahan yang dibutuhkan tersebut masih dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di daerah tersebut selama puluhan tahun.
Dia mencontohkan banyak perusahaan pembangkit listrik yang baru memikirkan pembebasan lahan untuk tapak menara jaringan listriknya, setelah menyelesaikan pembangkitnya. Seharusnya, perusahaan sudah melampirkan kebutuhan lahan untuk jaringan listrik dari pembangkit tersebut saat mengajukan izin kepada pemerintah.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang sendiri menargetkan pengadaan lahan untuk investasi paling lama dua bulan untuk lahan yang tidak ditempati dan lahan yang sudah diberikan hak gunanya oleh pemerintah, sedangkan untuk lahan yang telah ditempati oleh masyarakat sekitar enam bulan karena pemerintah harus melakukan pendekatan kepada penduduk setempat.
Menurutnya, proses ganti rugi lahan untuk investasi harus dimasukkan ke dalam perencanaan yang dibuat perusahaan. Selain itu, perusahaan juga harus melakukan pendekatan dengan penduduk yang tinggal di daerah tersebut, agar mengetahui keuntungan dari investasi yang dilakukan di daerahnya.