Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sejenak Mengenang Tragedi AirAsia

Boleh jadi Minggu pagi terakhir 2014 adalah hari yang tidak pernah diinginkan hadir. Tragedi jatuhnya pesawat AirAsia Indonesia QZ8501 menoreh luka baru di atas luka lama puluhan tahun lalu.

Bisnis.com, JAKARTA--Boleh jadi Minggu pagi terakhir 2014 adalah hari yang tidak pernah diinginkan hadir. Tragedi jatuhnya pesawat AirAsia Indonesia QZ8501 menoreh luka baru di atas luka lama puluhan tahun lalu.

Pesawat yang membawa 155 penumpang dan 7 awak dari Bandara Juanda, Surabaya, tidak pernah tiba di Singapura. Si burung besi jatuh di perairan bagian selatan Kalimatan Selatan atau di bagian utara Laut Jawa dekat Selat Karimata.

Tim SAR Gabungan dengan bantuan beberapa negara yang dikomandoi Badan SAR Nasional (Basarnas) bergerak mencari keberadaan pesawat.

Baru pada hari ketiga (Selasa, 30/1/2014), puing dan 3 jasad korban berhasil dievakuasi ke posko taktis di Pangkalan Bun dan diterbangkan ke Surabaya untuk diindentivikasi. Hingga kini, belum ada separuhnya jumlah penumpang diketemukan.

Pada sisi lain, Kementerian Perhubungan menggelar investigasi. Untuk sementara, penerbangan AirAsia Indonesia Surabaya-Singapura dan lima maskapai lainnya dibekukan. Maskapai-maskapai itu dinilai melakukan penerbangan di luar jadwal yang telah diberikan.

Kemenhub juga memutasi dan menonaktifkan 11 pejabat Kementerian pejabat yang ditenggarai telah melakukan lalai, sehingga terjadinya pelanggaran penerbangan oleh maskapai.

Waktu terus bergulir seiring dengan proses yang masih terus berlanjut. Namun jika rol waktu digulung kembali ke 1946, luka tidak hanya sampai di situ.

Pengaturan lalu lintas udara di Indonesia tidak seluruhnya diatur oleh anak bangsa. Di sekitar Selat Malaka di wilayah Tanjung Pinang, Batam dan Kepulauan Natuna.  tangan Singapura yang memiliki otoritas mengatur lalu lintas udara.

Saat itu, International Civil Aiation Organization (ICAO) menggelar pertemuan untuk membahas dan membagikan Flight Information Regions (FIR) atau pengaturan udara karena traffic di Malaka meningkat. Indonesia yang baru saja medeka tidak bisa hadir. Sejak saat itu, FIR diserahkan kepada kolonial Inggris yang kemudian menjadi Singapura.

69 tahun setelah peristiwa itu, kini Indonesia  belum mampu mengambil alih pengelolaan ruang udara dari Singapura. Kendati pengaturan lalu lintas udara itu hanya berkaitan dengan keselamatan penerbangan semata dan tidak sampai menyentuh soal kedaulatan negara, namun banyak pihak menilai Indonesia perlu mengambi alih pengaturan lalu lintas udara dari Singapura.

Usaha dilakukan, salah satunya membentuk Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI) atau yang lebih dikenal dengan AirNav Indonesia pada September 2012.

Direktur Utama Air Navigasi Indonesia Bambang Tjahyono mengatakan sesuai Undang-undang No 1/2009 tentang Penerbangan, evaluasi FIR di Singapura paling lama 15 tahun setelah UU itu diundangkan atau 2024.

Dalam setahun pembentukan, AirNav Indonesia, masih disibukkan dengan integrasi dan singkronisasi standar pengaturan lalu lintas udara antarbandara yang berbeda kelas, dari bandar komersial hingga bandara unit pelaksana teknis (UPT). Selain itu, penggenjotan peralatan navigasi yang lebih modern, peningkatan SDM ATC dan standar operation prosedur.

"[Tarif udara] Ditarik Singapura tapi seluruhnya diserahkan ke Indonesia. Dia cuma ingin berperan."

Ketua Umum Indonesian National Air Carries Association (INACA) Arif Wibowo mengatakan secara kasat mata, tidak ada perbedaan perlakuan maupun dampak negatif lain dari pengaturan lalu lintas udara di Selat Malaka oleh Singapura. Namun, Indonesia harus memiliki agenda pengambilalihan itu.

Untuk itu, diperlukan kesiapan tenaga SDM dan peralatan yang memadai untuk mendukung agenda tersebut. "Banyak yang harus disiapkan."

Tentu saja, FIR tidak hanya menjadi bagian tanggung jawab AirNav Indonesia dan Kementerian Perhubungan, melainkan pula perlu kerja sama dan dukungan Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri dan TNI Angkatan Udara.

Mantan Kepala Staf Angkatan Udara Republik Indonesia Chappy Hakim dalam bukunya Believe It Or Not Dunia Penerbangan Indonesia mengingatkan, tidak bisa disangkal oleh siapapun dan teori manapun tentang sistem perhtananan negara yang bisa mengatakan bahwa kawasan Selat Malaka adalah bukan kawasan perbatasan kritis yang bernilai strategi atau ctitical border yang harus menjadi bagian utama perhatian RI dalam menggelar sistem pertahanannya. Ingat, penyebab terbesar perang yang terjadi di sepanjang sejarah dunia adalah border dispute atau sengketa perbatasan.

"Jadi, sangatlah naif bila kemudian ada yang berkata dengan enteng bahwa itu hanya soal biasa dan itu hanyalah soal aviation safety belaka," kata Chappy dalam bukunya.

Boleh jadi Minggu pagi terakhir 2014 adalah hari yang tidak pernah diinginkan hadir. Tragedi jatuhnya AirAsia Indonesia QZ8501 juga telah mengorek kisah lama soal eksistensi bangsa di udara; soal harga diri kita.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Muhamad Hilman
Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper