Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

DIVERSIFIKASI PANGAN: Manfaatkan Potensi Jagung

Masyarakat Desa Mangli sangat beruntung. Limpahan produksi jagung di daerahnya membawa mereka pada gelar juara I lomba nasi jagung tingkat nasional beberapa tahun silam.

Bisnis.com, JAKARTA--Masyarakat Desa Mangli sangat beruntung. Limpahan produksi jagung di daerahnya membawa mereka pada gelar juara I lomba nasi jagung tingkat nasional beberapa tahun silam.

Berbekal gelar itu, nasi jagung buatan mereka mulai dibanjiri pesanan dari berbagai daerah. Namun sayangnya, daftar pesanan itu tidak bisa mereka penuhi karena keterbatasan sumber daya manusia dan biaya.

Dari cerita inilah awal mulanya Suparyo menekuni usaha nasi dan beras jagung di Desa Mangli, Kecamatan Kaliangkrik, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah sejak akhir 2011. Keterbatasan masyarakat desanya justru menjadi pemicu lahirnya produk nasi dan beras jagung bernama “Manglie”.

Bermodalkan uang Rp1 juta, dia merekayasa sendiri mesin yang dibelinya dari toko serta menggunakan bahan baku jagung sebesar 10 kg dari lahan milik orang tuanya sendiri. Saat itu, baru nasi jagung yang ia perkenalkan ke teman-temannya di Jogjakarta hingga mendapat banjir pesanan.

Tidak lama setelah karya nasi jagung pertamanya diperkenalkan, dia memperoleh bantuan modal sebesar Rp30 juta dari teman-temannya dan rekan bisnis yang tdak sengaja ditemuinya.  

Dari sini dia mulai merancang berbagai persiapan, mulai dari menyediakan lebih banyak bahan baku , kemasan, nama produk, hingga promosi. Nama “Manglie” sendiri diambil karena tetap ingin mempertahankan awal mula produk ini ada.

Menyadari semakin banyaknya bahan baku yang diperlukan, dia berpikir tidak lagi bisa mengandalkan kebun orang tuanya yang hanya seperempat hektar dan didominasi oleh tanaman sayuran.  

Suparyo kemudian melakukan kerja sama dengan petani jagung di sekitar Mangli. Hingga sekarang, lahan jagung sekitar 200 hektar milik para petani sudah berkomitmen untuk memasok bahan baku bisnisnya itu.

Dalam 200 hektar itu, Suparyo bisa memperoleh lebih dari 20 ton jagung setiap bulannya. Bentuknya jagung pipilan. Dia memperolehnya dari gudang penyimpanan jagung yang ada di sana.

"Biasanya orang gunung, jagung ditaruh di penerangan. Nanti menjadi kering. Di bawahnya ada tungku. Di daerah kami namaya kelepet," ujarnya. Dengan sistem itu, Suparyo bisa memperoleh bahan baku jagung kapanpun dibutuhkan meski terjadi kemarau panjang.

Setelah mengawali dengan nasi jagung, sekitar 1,5 tahun yang lalu dia merambah ke produk lain yang hingga kini terus meningkat permintaannya, yaitu beras jagung.

Saat ini, dia sudah dapat memproduksi dua kuintal beras jagung setiap harinya.

Untuk memproduksi dua kuintal itu setidaknya dibutuhkan jagung dua kali lipatnya atau sekitar empat kuintal. Dengan kata lain dari angka produksi jagung tiap tahunnya, potensi beras jagung yang bisa didapat, yaitu setengah dari angka itu.

Dia menceritakan beras jagung ini dimunculkan sebagai jawaban atas permintaan terhadap nasi jagung yang justru menurun.
"Produksinya memang tidak menentu tergantung pesanan. Sekarang ini pesanan nasi jagung bisa turun 50%," katanya.

Menurutnya, masyarakat lebih menyukai beras jagung karena rasanya yang tidak asin seperti nasi jagung. Apalagi, beras jagung ini merupakan makanan pengganti nasi yang biasanya dimakan dengan lauk pauk.

Proses pembuatan beras jagung sendiri tidak rumit.

Bahannya 100% dari jagung putih. Suparyo menceritakan jagung dimasukkan ke mesin khusus untuk menghilangkan kulit arinya. Kemudian dihancurkan dengan mesin khusus hingga menjadi bulir, dimasak, dan akan ada proses pengkristalan hingga akhirnya dikemas dan dipasarkan.

MENGGARAP EKSPOR

Pasar produk Manglie sendiri sudah ke berbagai daerah, seperti Jakarta, Jambi, Bali, dan Kalimantan. Bahkan di Jakarta Timur sudah ada distributor tetap yang bisa mengambil 1 ton beras jagung dalam satu kali pengiriman tiap bulan atau tiap setengah bulannya.

Satu bungkus nasi jagung berisi 200 gram yang dijual dengan harga R45.000. Sementara beras jagung dijual dengan harga Rp17.000 per kg. Saat ini, dalam satu bulan Suparyo bisa memperoleh omzet sebesar Rp100 juta tiap bulannya.

Walau sudah punya pelanggan sendiri, Suparyo tengah berupaya untuk membawa produk ini ke pasar modern. Dia ingin produknya bisa diterima sebagai salah satu bentuk diversifikasi pangan dan tidak dipandang sebelah mata.

Bisnis Suparyo tidak hanya dikenal di dalam negeri, produk beras jagungnya juga sudah hampir mencoba pasar Malaysia. Saat itu, dia mendapat permintaan yang besar dari negara jiran itu. Namun, sayangnya Suparyo tidak mampu memenuhinya karena faktor produksi yang belum memadai.

“Karena Malaysia minta sebulan sekali dikirim 100 ton. Ini sangat rumit. Produksi kami baru 10 ton per bulannya,” katanya.

Untuk dapat memenuhi permintaan itu, setidaknya Suparyo membutuhkan biaya lebih dari Rp 1 miliar untuk membeli mesin-mesin pabrik pengolah beras jagung yang lebih baik. Mesin yang dimilikinya saat ini hanya mesin rekayasa yang belum dapat memproduksi secara masal.

Kesiapan penambahan produksi ini memang diperlukan mendesak. Suparyo menceritakan bahwa pemerintah tengah merencanakan untuk mengganti beras raskin menjadi beras jagung.

Namun, tentunya dia menunggu kesiapan dari pemerintah untuk menjalankan rencana tersebut. “Kalau ini jadi, bisnis beras jagung akan semakin menjanjikan,” katanya.

Berdasarkan situs Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP) Lembang Kementerian Pertanian jagung merupakan salah satu sumber pangan pengganti beras yang mempunya potensi baik. Harganya yang relatif murah, mudah didapat, dan memiliki kandungan gizi yang baik, sangat tepat untuk mengganti beras yang dinilai memiliki kandungan gula yang cukup tinggi.

Apalagi, ke depan pemerintah merencanakan untuk menciptakan swasembada jagung dengan melakukan rehabilitasi di beberapa sektor, seperti irigasi dan memberikan bantuan alat mesin pertanian.

Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (PPHP) Yusni Emilia Harahap mengatakan beras jagung memang merupakan salah satu produk yang didorong penggunaannya sebagai upaya diversifikasi pangan. Menurutnya, potensi pangan lokal di suatu daerah, seperti jagung di NTB, perlu didorong untuk memperoleh nilai tambah dari pangan itu.

“Intinya kita sama-sama promosikan produk lokal. Ini PR kita untuk meningkatkan produksi. Kalau jagung ditargetkan swasembada ya tentu saja akan meningkatkan produksi beras jagung,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Ihda Fadila
Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper