Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

NUSA PENIDA, di Balik Wajah Sumringah Para Penambang Emas Hijau

Nusa Penida menyumbang sekitar 65% rumput laut untuk seluruh hasil rumput laut di Bali. Menurut data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Bali, total produksi rumput laut Bali pada 2013 sebanyak 145.597 ton.
Tergantung pada para tengkulak /Bisnis.com
Tergantung pada para tengkulak /Bisnis.com

Bisnis.com, DENPASAR - Nusa Penida, sebuah pulau tandus yang terletak di tenggara Pulau Bali, merupakan tempat pembuangan bagi tahanan dinasti Gelgel dari Bali pada awal abad ke-18.

Sebelum kekuasaan Majapahit masuk Pulau Bali, dinasti Gelgel-salah satu dari kerajaan di Bali-menaklukan Nusa Penida setelah membunuh raja terakhir (dalem nusa) Nusa Penida Dimade. Seperti dikisahkan dalam Babad Blahbatuh, Raja Nusa Penida ini lebih populer dengan sebutan Ratu Gede Mecaling Mas.

Nusa Penida yang hanya dipisahkan oleh Selat Badung dengan Pulau Bali itu memiliki landskap wilayah yang landai dan berbukit tandus. Sekarang, Nusa Penida merupakan salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten Klungkung, selain Nusa Lembongan dan Ceningan.

Wilayah ini juga memiliki keanekaragaman hayati laut, dan termasuk segitiga terumbu karang dunia (the global coral triangle) yang menjadi prioritas dunia untuk dilestarikan. Keanekaragaman ikan karang dan biota laut lainnya mencapai sekitar 576 jenis ikan.

Perairan Nusa Penida termasuk Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II. Kondisi perairan Nusa Penida dipengaruhi oleh arus dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia yang ikut mempengaruhi sebaran plankton, kelimpahan ikan, dan struktur komunitas terumbu karang.

Berdasarkan kajian ekologi laut secara cepat yang dilakukan oleh ahli karang dunia Emre Turak dari Australia pada November 2009, ditemukan 296 jenis karang di perairan Nusa Penida dengan luas hutan bakau sekitar 230 hektare. Ada sekitar 13 jenis mangrove 7 jenis tumbuhan asosiasi di kawasan tersebut.

Sementara itu, hutan mangrove selain berfungsi sebagai sumber perikanan, juga sebagai ekowisata, pelindung alami pantai dan penyerap karbondioksida. Kelompok ikan yang terdapat di perairan Nusa Penida adalah ikan karang, ikan pelagis dan ikan dasar. Mamalia laut seperti paus dan lumba-lumba juga kadang melintasi di perairan Nusa Penida.

Di perairan Nusa Penida, terdapat pula dua jenis penyu, yakni penyu hijau (green turtle) dan penyu sisik (hawksbill turtle), selain jenis ikan laut dalam seperti Mola-Mola (sunfish) yang muncul setiap bulan Juli sampai September setiap tahunnya.

Kekayaan hayati laut Nusa Penida telah membawa manfaat ekonomi dan jasa lingkungan bagi Nusa Penida. Terumbu karang (coral reef), hutan bakau (mangrove), ikan pari manta (manta ray), ikan mola-mola (sunfish), penyu (sea turtle), lumba-lumba (dolphin), hiu (shark) dan paus (whale) merupakan atraksi menarik bagi wisata bahari.

Namun,dunia mengenal Nusa Penida tak hanya dikenal lewat keelokal pariwisatanya, seperti juga di Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan serta Bali pada umumnya, tetapi juga rumput lautnya.

Nusa Penida dihuni sekitar 46.749 jiwa atau sekitar 8.543 kepala keluarga. Selain di sektor pariwisata, mereka umumnya bermata pencaharian di sektor pertanian, perikanan dan kelautan, peternakan, dan kerajinan tenun ikat.

Belakangan, mereka pun menjadi pembudidaya rumput laut. Wilayah pantai timur Nusa Penida yang berhadapan langsung dengan Selat Lombok, merupakan lokasi yang sangat potensial bagi pengembangan budi daya rumput laut.

Hampir semua warga desa-desa di sepanjang pantai itu menggantungkan hidupnya dari budidaya rumput laut. Mereka sering menyebut tanaman yang memiliki nama latin gracilaria sp itu sebagai emas hijau.

Desa-desa yang menjadi pusat produksi rumput laut di Nusa Penida antara lain Desa Suana, Desa Batununggul, Desa Kutampi Kaler, Desa Ped, dan Desa Toyapakeh.

Saat puluhan wartawan dari Bali dan Nusa Tenggara serta rombongan dari Bank Indonesia melintas di sepanjang jalur tersebut menuju kampung tenun binaan di Desa Pejukutan pada Sabtu (6/12/2015), tampak senyum bahagia menghiasi wajah para petani yang tengah memanen, menenteng dan menjemur emas hijau itu di sisi kiri-kanan jalan sepanjang pesisir pantai.

Sesekali para wartawan memotret pemandangan tersebut dari dalam mobil yang ditumpangi, dan ada pula yang berhenti sejenak untuk membidik suasana di sekitarnya.

Berdasarkan data dari Dinas Perikanan dan Kelautan Bali, rumput laut yang dikembangkan para petani nelayan di Nusa Penida adalah rumput laut jenis catony dan spinosum. Kedua jenis rumput laut ini untuk konsumsi dunia.  Rumput laut dapat dipanen 25-35 hari. Sekali panen bisa sekitar seorang petani bisa membawa pulang 40-50 ton.

Nusa Penida menyumbang sekitar 65% rumput laut untuk seluruh hasil rumput laut di Bali. Menurut data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Bali, total produksi rumput laut Bali pada 2013 sebanyak 145.597 ton, atau naik hanya 1% dibandingkan dengan 2012, yang 144.000 ton. Bali merupakan satu dari sembilan provinsi di Indonesia sebagai penghasil rumput laut.

Komoditas rumput laut menjadi bahan baku aneka produk penting, seperti pangan dan kosmetik itu kemudian diekspor ke Jepang, China, Taiwan dan Korea lewat pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.

PERSOALAN

Namun, petani tidak terlepas dari persoalan, termasuk saat masa panen datang. "Harga rumput laut ditentukan seenaknya oleh para tengkulak, sehingga terkadang membuat para petani menjadi tidak berdaya," kata Nyoman Sukerta, penduduk Nusa Penida.

Rumput laut kering, misalnya, dijual dengan harga yang berbeda sesuai dengan jenisnya. Rumput laut jenis spinosum yang oleh warga setempat disebut bulung biasa hanya Rp5.000/kilogram, sedang rumput laut kering jenis catony atau setempat menyebutnya bulung gondrong bisa mencapai Rp15.000 per kg.

Nyoman Candra, petani rumput laut, secara jujur mengakui bahwa penjualan rumput laut kering sangat tergantung pada selera para tengkulak. Petani tidak bisa menjual langsung kepada eksportir ataupun pengolah rumput laut karena kapasitas produksi setiap petani yang terbatas, sedangkan eksportir butuh dalam jumlah banyak.

"Kami juga tidak bisa menjual melalui pemasaran bersama karena mereka tidak bergabung dalam kelompok petani," ujar Nyoman.

Hal senada diungkapkan Ketua Yayasan Nusa Penida Wayan Sukadana. Persoalan terbesar yang dihadapi para petani rumput laut setempat adalah pada saat pascapanen.

"Pemerintah perlu mengambil-alih pemasaran agar para petani setempat benar-benar menikmati adanya emas hijau dari hasil olahannya sendiri," katanya.

Dia berharap pemerintah mengundang investor untuk membangun pabrik pengolahan rumput laut di Nusa Penida agar tidak lagi menjual ke Surabaya lewat jasa para tengkulak. "Jika sudah ada pabrik, tentu harganya lebih tinggi lagi. Dan ini, membuat para petani lebih pasti untuk meraih keuntungan," tambahnya.

Dia menduga adanya kesan pembiaran dari pemerintah daerah terhadap usaha tambang emas hijau di pantai timur Nusa Penida mungkin karena pesatnya pengembangan sektor pariwisata di pulau tersebut.

Kesan ini pun membuat rasa khawatir para pembudidaya. Perkembangan pariwisata akan menggeser usaha mereka.

Rasa khawatir juga dialami oleh para petani rumput laut di Nusa Lembongan, yang menghadapi kenyataan pesatnya pembangunan hotel, vila, atau fasilitas pariwisata lain.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Fatkhul Maskur
Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : Antara

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper