Pertemuan tahunan ke-12 Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) 2014 di Kuala Lumpur, pekan lalu, salah satunya menyoroti isu stok karbon di lahan HCS (High Carbon Stock) bagi pembukaan kebun sawit. Berikut beberapa laporan wartawan Bisnis, Rustam Agus. |
Bisnis.com, JAKARTA--Penelitian dan studi High Carbon Stock (HCS) yang banyak ditunggu adalah proyek penelitian yang dipimpin Dr John Raison, ilmuan tanah dan lingkungan hidup pemenang hadiah Nobel Perdamaian dari Commonwealth Scientific & Industrial Research Organisation (CSRIO).
Studi besar yang resmi dmulai pada Oktober 2014 ini akan berlangsung setahun sebagai tanggapan atas tekanan yang diterima industri sawit untuk mengurangi dampak iklim dan deforestasi.
"Studi ini akan mengkaji secara komprehensif terhadap penilaian sebuah kawasan tertentu, tak sekadar melalui pendekatan HCS," tutur John di hadapan peserta forum pertemuan tahunan ke 12 RSPO.
Jadi, jelasnya, studi ini tidak hanya bermaksud mendefinisikan secara jelas apa yang merupakan hutan HCS dan menetapkan ambang batas HCS untuk memasukkan masalah lingkungan serta faktor sosio ekonomi dan politik di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Riset ini didanai sejumlah perusahaan besar kelapa sawit dan dua LSM lingkungan hidup antara lain Sime Darby Plantation, Asian Agri, IOI Corporation Berhad, Kuala Lumpur Kepong Berhad, Musim Mas Group, Unilever, dan Cargill.
Sejumlah perusahaan ini telah berkomitmen untuk tidak mengembangkan potensi daerah HCS sampai studi dan penelitian ini rampung.
Penelitian dan review data-data ilmiah tersebut akan berlangsung di sejumlah kawasan hutan dan lahan di Afrika, Malaysia, dan Indonesia.
Selain John Raison, penelitian HCS ini akan diawasi komite pengarah yang juga beranggotakan ahli lingkungan terkemuka asal Inggris Jonathan Porritt dan penasihat ekonomi independen untuk sektor agribisnis James Fry.
John mengakui hasil studi nantinya akan menghasilkan rekomendasi yang lebih fleksibel atas rencana pemanfaatan hutan atau lahan tertentu serta penilaian terhadap kawasan yang sudah terlanjur dibuka untuk berbagai kepentingan termasuk industri sawit.
Jadi tidak semata merekomendasi stop deforestasi atas ukuran stok karbon semata tetapi juga memperhitungkan faktor-faktor sosio-ekonomi terkait mata pencaharian masyarakat lokal, kebijakan negara terkait, kepentingan pemerintahan lokal, aspek pertumbuhan ekonomi kawasan, dan masalah lingkungan lainnya.
"Yang pasti, hasil riset nantinya tidak akan ‘hitam putih’ untuk menilai satu kawasan hutan atau lahan dari pendekatan HCS semata," demikian John Raison.
BACA JUGA:
Industri Sawit Lestari (I): Maju Bersama Pemanasan Global
Industri Sawit Lestari (II): Saatnya Peduli Stok Karbon Hutan
Industri Sawit Lestari (IV): Studi HCS Jadi Dasar Teknis Buka Lahan