Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta tidak mewariskan persoalan baru terkait dengan ketentuan ekspor timah kepada Pemerintahan Jokowi-JK.
Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies Marwan Batubara mengungkapkam untuk mengamankan produk timah dan turunannya pemerintah harus aktif dan tidak boleh absen sedikit pun dalam tata niaga timah. Selama ini seolah-olah ditinggalkan oleh pemerintah.
"Pemerintah, misalnya harus lebih peduli untuk mengamankan negara ini dari para penyelundup timah yang sering beroperasi di Bangka Belitung," ujarnya, Rabu (15/10).
Namun, sambungnya, yang terjadi sebaliknya karena aturan dari Kementerian Perdagangan soal celah ekspor dalam bentuk lain timah tidak dipikirkan. Hal itu sudah pasti Indonesia tidak bisa mengamankan timah dari penyelundupan.
Seperti diketahui, Kementerian Perdagangan dalam 2 tahun terahir tiga kali menerbitkan peraturan tentang ketentuan ekspor timah.
Bahkan, peraturan terakhir yakni Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 44 Tahun 2014 tentang Ketentuan Ekspor Timah yang merupakan hasil revisi Permendag No 78 Tahun 2012 jo Permendag No 32 Tahun 2012 tentang Ketentuan Ekspor Timah, juga bakal kembali direvisi sebelum aturan tersebut berlaku efektif mulai November 2014.
Dalam Permendag No. 44 Tahun 2014, ada sejumlah pasal yang justru berpotensi untuk memunculkan lagi praktik ekspor timah ilegal.
Selain itu, Permendag yang baru ini membuat penambang/eksportir besar yang menjual timah batangan, menanggung beban yang lebih kecil, tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen, dan hanya dikenakan royalti sebesar 3 persen.
Justru, penambang/eksportir kecil dikenai syarat tambahan, yaitu berupa Ijin Eksportir Terdaftar Timah Industri (IETTI), dan PPN 10 persen. Dalam Permendag 44, untuk memperoleh IETTI tidak ada syarat clear and clean, yaitu kejelasan asal-usul bahan baku.
Selama ini, ujar Marwan, Malaysia tetap menjual timah karena penyelundupan masih tetap terjadi di Indonesia.
"Saya berharap pemerintahan Jokowi-JK mampu menyelesaikan masalah penegakan hukum ini hingga akar-akarnya," tegasnya.
Budi Santoso, Ketua Komite Kebijakan Nasional Mineral dan Batu Bara dan anggota Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), mendesak agar tata niaga timah tetap berada dalam satu pintu.
Sejak Agustus 2013 Indonesia memiliki Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI) dan seluruh perdagangan timah di Indonesia bisa melewati BKDI.
Dia menjelaskan Malaysia yang tidak punya komoditas timah tapi bisa memainkan harga timah.
"Ini pasti ada penyelundup atau penambang ilegal yang menjual secara ilegal dari Bangka Belitung ke Malaysia. Pemerintah harus menegakkan hukum. Apalagi kalau sampai ada aparat sendiri yang ikut bermain dalam kasus tersebut," ungkapnya.
Ketua Umum Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI), Jabin Sufianto mengatakan sebagai eksportir timah terbesar dunia Indonesia belum berdaulat dalam menentukan harga timah dunia.
"Kami berharap Pemerintahan Jokowi mempunyai orientasi yang jelas jika memang menginginkan indonesia sebagai penentu harga timah dunia," ujarnya.
Pemerintahan Jokowi harus punya peraturan yang tegas dan kebijakan kementerian terkait serta penegakan hukum terhadap para pelaku perdagangan timah ilegal.