Bisnis.com, BADUNG - Pertumbuhan manufaktur harus terakselerasi dalam 25 tahun ke depan agar Indonesia dapat lolos dari jebakan kelas menengah alias middle income trap.
Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro berharap pada manufaktur karena sektor itulah yang selama ini diandalkan untuk memberi nilai tambah terhadap komoditas pertambangan dan perkebunan, serta memberikan pekerjaan dengan kualitas lebih baik.
Sayangnya, sejak periode 2000-an, peran manufaktur yang tadinya 30% terhadap perekonomian terus menurun seiring pertumbuhannya yang melambat.
"Tidak harus memproduksi barang-barang yang sophisticated. Kita bisa mengembangkan manufaktur berbasis agrikultur," katanya di sela-sela Seminar bertema Growth Strategies for a Rising Indonesia, Sabtu (11/10/2014).
Badan Pusat Statistik mencatat sektor pengolahan yang sempat tumbuh rata-rata 10,2% pada era 1990-an, melambat di kisaran 4,9% setelah terkontraksi pada 1998 saat badai krisis finansial Asia menerjang Indonesia.
Akibatnya, kontribusi manufaktur terhadap produk domestik bruto menurun. Penurunan itu juga tidak lepas dari hasil pergeseran dini struktur ekonomi. Indonesia belum melewati tahap sektor manufaktur yang sudah maju sebelum memasuki sektor sekunder. Kurangnya kualitas infrastruktur, rendahnya kapasitas sumber daya manusia, kapasitas inovasi, dan kelembagaan, merupakan kendala untuk mencapai kematangan manufaktur.
"Kondisi yang tidak seimbang ini menyebabkan penurunan kontribusi manufaktur, berbeda dengan apa yang terjadi di negara lain yang memiliki pembangunan industri yang lebih konsisten, seperti Jepang, Korea, Taiwan," tutur Bambang.
Sumbangan manufaktur terhadap penciptaan lapangan kerja pada gilirannya relatif stagnan selama dua dekade terakhir, yakni berkisar 12% terhadap total lapangan kerja.
Bambang menuturkan pengembangan manufaktur di Tanah Air dapat diawali dengan mengandalkan pasar domestik. Pada skala ekonomi tertentu, perusahaan akan berekspansi untuk kebutuhan ekspor, sebagaimana terjadi pada industri otomotif.
Langkah lainnya, manufaktur di Indonesia berpartisipasi dalam rantai nilai global (global value chain) dengan syarat mampu menjaga konsistensi kualitas dan pasokan.
Dia memberi contoh, jika Indonesia mampu konsisten memproduksi layar telepon seluler saja sesuai jumlah dan kualitas yang diminta, maka produk itu dapat dikirim ke pabrik ponsel di seluruh dunia.
Meskipun demikian, dua syarat agar manufaktur Indonesia kompetitif itu hanya dapat berlangsung jika infrastruktur segera dibenahi.
Sementara itu, dalam paparannya, Presiden Korea Institute for Development Strategy Seung-Hun Chun bercerita bagaimana Korea Selatan awalnya dihujani kritik oleh internasional karena rancangan diversifikasi sumber daya saingnya dinilai tidak layak secara ekonomi.
Korsel pada 1968-1972 memproduksi petrokimia berkapasitas 60.000 metrik ton dengan permintaan lokal maksimum 30.000 metrik ton, sedangkan standar internasional 300.000 metrik ton.
Selain itu, Negeri Ginseng itu pada 1970-1973 mengembangkan pabrik baja berkapasitas 1 juta metrik ton dengan permintaan lokal 100.000 metrik ton, sedangkan standar internasional 3 juta metrik ton.
"Akhirnya, kami berada di urutan atas daya saing global, sekaligus produsen kelima terbesar dunia," kata Chun dalam kesempatan yang sama.