Bisnis.com, JAKARTA--Pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan perusahaan rokok terhadap buruh pabrik tembakau tidak berkaitan dengan upaya eksesi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC).
Ketua Bidang Pengembangan Media Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) Hakim Sorimuda Pohan mengatakan selama ini biaya produksi untuk sigaret kretek tangan (SKT) yang dikerjakan tenaga manusia hanya sebesar 12% hingga 16% dari total biaya.
“Air mata yang diperlihatkan industri rokok itu palsu. PHK itu sudah mereka rencanakan sebelumnya dan sama sekali tidak terkait FCTC tetapi demi kepentingan kapitalis mereka,” katanya, Kamis (9/10/2014).
Hakim mengatakan industri rokok lebih memilih memilih sigaret kretek mesin (SKM) yang dikerjakan mesin. Dengan SKM, lanjutnya, biaya produksi hanya 0,2% sehingga beban operasional bisa ditekan dengan maksimal.
Karena itu, dia meminta pemerintah dan masyarakat tidak tertipu dengan air mata industri rokok yang seolah-olah mem-PHK buruhnya karena adanya tekanan akibat wacana aksesi FCTC. Dia menyebutkan produksi industri rokok di Indonesia justru terus tumbuh dan berkembang. “Industri mereka terus tumbuh, buruh di-PHK supaya mereka mendapatkan keuntungan lebih banyak. Jadi, tidak ada kaitannya dengan FCTC. Air mata yang mereka tunjukkan saat mem-PHK buruhnya itu air mata palsu,” katanya.
Kelompok Kerja Bersama MUI bersama Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT), termasuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), bersepakat mendorong Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera meratifikasi FCTC sebelum masa jabatannya berakhir pada 20 Oktober 2014.
Saat ini, sudah ada 179 negara atau mewakili 90% populasi dunia yang sudah meratifikasi konvensi kerangka kerja tersebut. Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia dan anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang belum meratifikasi konvensi tersebut.