Bisnis.com, JAKARTA—Daya saing batik di kancah fesyen global tak dikhawatirkan. Pemerintah justru mencemaskan kiprahnya di pasar domestik.
Menteri Perindustrian M.S. Hidayat mengatakan yang perlu diwaspadai dari industri batik adalah persaingan dengan produk impor yang harganya lebih murah.
“60% batik di Tanah Abang itu impor. Batik murah ini yang bisa dijangkau masyarakat kecil,” tuturnya, di Jakarta, Kamis (2/10/2014).
Harga batik asli Indonesia pada umumnya relatif mahal karena dalam produksinya membutuhkan keahlian tangan si pembuat. Batik tulis ini menjadi kebanggaan Merah Putih tetapi tidak terjangkau masyarakat kelas menengah dan bawah.
Batik tersebut dijual seharga jutaan bahkan puluhan juta. Walhasil konsumen kelas menengah bawah yang hendak mengenakan mencari produk lain yang lebih murah. Peluang ini banyak dimanfaatkan produsen batik cap dari luar negeri.
“Yang tidak bisa dicegah itu kalau batik impor yang masuk legal dengan harga lebih murah, bisa bisa puluhan [atau ratusan] ribu saja,” ujar Hidayat.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berpendapat yang perlu dilakukan industri batik ialah meningkatkan produktivitas. Proses produksi bersih juga perlu menggunakan cara eko-efisien agar harga jual lebih kompetitif.
Selain itu guna menjaga kualitas batik perlu disertakan logo "Batik Indonesia" dengan hak cipta nomor 034100. Ini cara untuk memperluas promosi batik sehingga semakin dikenal dan dipercaya dunia. Pasalnya batik merupakan warisan budaya yang mesti dilestarikan.