Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintahan baru pimpinan Presiden terpilih Joko Widodo perlu membangun "kebun energi terbarukan" yaitu kebun sawit khusus untuk memproduksi crude palm oil (CPO) sebagai bahan baku pembuatan bahan bakar nabati yang ramah lingkungan (biodiesel).
"Langkah awal yang perlu ditempuh pemerintah untuk mewujudkan kebun energi itu dengan membentuk aliansi antara BUMN bidang perkebunan dan BUMN sektor energi sebagai pemegang komando implementasi program," kata pakar energi, Wibowo S Wirjawan di Jakarta, Senin (29/9/2014), terkait keinginan pemerintah baru mengembangkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan.
Wibowo Wirjawan mengatakan produk biodiesel tersebut nantinya dijual kepada BUMN energi untuk didistribusikan dan dijual ke pasar dalam negeri. Sementara hasil penjualan kelapa sawit bisa digunakan oleh petani untuk mencicil pinjaman kredit lunaknya.
"Ini yang menjadi konsep energi dari rakyat untuk rakyat. Rakyat berpartisipasi menyediakan bahan baku energi nabati, turut serta dalam proses produksi bahan bakar nabati (BBN) dan menyediakan energi untuk rakyat banyak," ujarnya.
Dikatakannya, pemerintahan Jokowi-JK bisa memanfaatkan banyaknya lahan terlantar di Indonesia yang mencapai 70 juta hektar, terutama hutan yang sudah tidak produktif, lahan gambut eks-program 1 juta hektar dan lahan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang ditelantarkan pemiliknya.
"Tidak ada kata terlambat untuk memulai. Pemerintahan baru harus mulai membangun kebun energi sekarang meskipun hasilnya baru akan dinikmati dalam 3-4 tahun mendatang," ujarnya.
Wibowo Wirjawan yang pernah menjadi Deputi Pengendalian Finansial BP Migas (sekarang SKK Migas) menambahkan melalui pembentukan kebun energi yang dikelola bersama oleh aliansi BUMN perkebunan dan energi, maka masalah lingkungan, pengelolaan limbah dan karbon (CO2) bisa diatasi melalui penerapan manajemen kebun yang berstandar Indonesia Sustainability Palm Oil (ISPO).
Ia menjelaskan biofuel di Indonesia tidak berkembang pesat seperti di negara lain karena banyaknya faktor penghambat dalam implementasi program pengembangan biodiesel.
"Padahal banyak dampak ikutan yang didapat. Untuk produksi green diesel 100.000 barrel per hari dibutuhkan sekitar 5 juta ton CPO per tahun dan luas lahan 1 juta hektar. Perlu tenaga kerja sekitar 1,5 juta orang dan devisa yang bisa dialihkan ke dalam negeri sebagai substitusi impor mencapai 4,6 miliar per tahun," jelasnya.
Ia mengakui program biodiesel generasi I yang telah dilakukan mempunyai sejumlah kelemahan, seperti menyebabkan mesin nglitik, mudah beku pada suhu tertentu, dan kandungan sulfur yang bisa menyebabkan korosi mesin.
Namun menurut dia, dengan teknologi proses yang lebih maju seperti milik Neste Oil maka kelemahan tersebut bisa diatasi dan menghasilkan bahan bakar diesel berkualitas tinggi, bahkan melebihi kualitas bahan bakar diesel dari minyak bumi (petro diesel).