Bisnis.com, JAKARTA—Meskipun the Federal Reserve AS memastikan suku bunga acuan mereka akan bertahan pada level rendah untuk beberapa waktu ke depan, Kementerian Perdagangan RI sudah mulai pasang kuda-kuda untuk mengantisipasi datangnya tekanan impor.
Seperti diketahui, bank sentral Negeri Paman Sam—yang juga merupakan otoritas moneter paling berpengaruh di dunia tersebut—telah memutuskan untuk mempertahankan federal funds rate pada level 0,25% pada Rabu (17/9) waktu Washington DC.
Namun, program quantitative easing (QE) The Fed melalui pembelian obligasi pemerintah rencananya bakal disetop saat rapat Federal Open Market Committee (FOMC) 16-17 Oktober mendatang, menyusul penambahan stimulus gelombang terakhir senilai US$15 miliar.
Bagi Indonesia, berakhirnya orde QE di Amerika Serikat menandakan terbukanya peluang tekanan terhadap kinerja impor dalam jangka menengah, paling tidak mulai 2015. Kendati demikian, ekspor Indonesia ke negara tersebut dapat terdongkrak dalam jangka pendek.
Hal itu diungkapkan oleh Wamen Perdagangan Bayu Krisnamurthi, yang juga mengatakan bahwa otoritas perdagangan RI sebenarnya sudah merapatkan barisan sejak awal 2014 guna mengantisipasi kenaikan suku bunga The Fed, yang sulit diprediksi momentumnya.
“Kalau [federal funds rate naik], dalam jangka pendek hal itu sebenarnya dapat meningkatkan nilai ekspor. Namun, dalam jangka menengah bisa memberatkan, karena impor Indonesia sebagian besar adalah bahan baku dan bahan penolong,” katanya kepada Bisnis, Kamis (18/9/2014).
Ketidakpastian atas kapan tepatnya suku bunga acuan The Fed akan dinormalisasi memantik sentimen negatif, bukan hanya terhadap pasar modal, tetapi juga pergerakan nilai tukar rupiah.
Menurut Bayu, pelemahan rupiah yang dipicu spekulasi dan ketakutan investor akan potensi kenaikan suku bunga The Fed tersebut memicu pembengkakan nilai impor dalam rupiah. Itu berarti ongkos produksi akan melambung dan daya saing produk RI akan tergerus.
Dari data Bloomberg pada Kamis siang, mata uang Garuda terdepresiasi 0,40% menjadi Rp12.017/dolar AS, atau level terlemah sejak 27 Juni tahun ini. Berbagai ekonom dunia juga berpendapat RI paling rentan terhadap capital outflow dibanding negara berkembang lain.
situasi global.