Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Kehutanan menyatakan penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) terhadap seluruh produk berbasis kayu, termasuk mebel dan kerajinan, mulai 1 Januari 2015 diharapkan bisa mendongkrak nilai ekspor kehutanan hingga 20%.
Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kementerian Kehutanan Bambang Hendroyono menyatakan SVLK wajib dipenuhi oleh semua pihak yang melakukan pengelolaan hutan dan perdagangan kayu.
"SVLK adalah komitmen nasional dan sistem yang kredibel dalam mendorong pengelolaan hutan lestari," katanya di Jakarta, Selasa (9/9/2014).
Pencanangan implementasi penuh SVLK dilakukan lewat Komunikasi Nasional yang diselenggarakan di Medan, dan akan diikuti sosialisasi di kota lain di Indonesia.
Implementasi penuh SVLK diatur berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.43/Menhut-II/2014.
Berdasarkan ketentuan itu seluruh kayu dan produk kayu yang beredar harus dilengkapi Sertifikat Legalitas Kayu (SLK), termasuk yang dihasilkan oleh pelaku usaha skala rakyat.
Sebelumnya kewajiban itu hanya berlaku untuk kayu yang berasal dari hutan negara dan yang diproduksi oleh industri besar seperti kayu lapis, moulding, bubur kayu dan kertas.
Menurut Bambang, selama ini, pelaku usaha skala rakyat memang kesulitan untuk memenuhi SVLK karena persoalan biaya audit, jumlah yang masif, dan dokumen perizinan namun kesulitan itu kini bisa diatasi dengan penggunaan Dokumen Kesesuaian Pemasok (DKP).
Dokumen tersebut dibuat oleh pelaku usaha kecil dan skala rakyat yang menyatakan bahwa kayu dan produk kayu yang mereka hasilkan bersumber dan diproses secara legal.
Selain itu dokumen diterbitkan secara mandiri dan tidak perlu diverifikasi oleh auditor sehingga bebas biaya.
Bambang menegaskan penggunaan DKP tidak mengendurkan penerapan SVLK. Pada praktiknya, pemerintah atau pihak ketiga yang ditunjuk untuk melakukan inspeksi sewaktu-waktu untuk memeriksa legalitas kayu.
"Jadi kredibilitas SVLK tetap terjaga," katanya.
Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Kemenhut Dwi Sudharto mengungkapkan penerapan SVLK berdampak positif kepada kinerja ekspor kehutanan.
Dia mengungkapkan pada Januari-Agustus 2013 ekspor tercatat US$4,5 miliar, sedangkan pada periode yang sama 2014 nilai ekspor naik 4,8% menjadi US$4,7 miliar.
Pihaknya yakin implementasi penuh SVLK semakin melambungkan kinerja ekspor hingga 20% dan hal itu membuktikan SVLK semakin diterima pasar internasional.
Saat ini SVLK diakui memenuhi Europe Union Timber Regulation (EUTR) di Uni Eropa, Amandemend Lacey Act di Amerika Serikat, Green Konyuho di Jepang.
Dwi mengungkapkan untuk memperluas keberterimaan SVLK, Indonesia juga akan menandatangani nota kesepahaman dengan Australia.
Sementara itu di dalam negeri, segera akan di berlakukan kebijakan Green Procurement untuk pembelian produk kayu bagi pemerintah dan BUMN.
Sambut baik Sementara itu Presiden Direktur PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) Kusnan Rahmin menyambut baik implementasi penuh SVLK yang diyakini semakin meningkatkan kredibilitasnya.
"Pasar dunia akan semakin terbuka bagi ekspor hasil hutan Indonesia," katanya.
RAPP telah mengantongi sertifikat SVLK dan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) bagi hutan tanaman yang dikelolanya sejak 2010.
Kedua sertifikasi tersebut telah membuktikan bahwa kayu yang bersumber dari hutan tanaman yang dikelola RAPP bukan hanya sah atau legal, namun kayu ini juga berasal dari hutan tanaman yang telah dikelola secara lestari.