Bisnis.com, JAKARTA—Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menilai pemerintah tidak konsisten menjalankan kebijakan pengendalian BBM bersubsidi sehingga menimbulkan konflik di tengah masyarakat.
“Saya melihat inkonsistensi dari kebijakan pengendalian BBM bersubsidi dari pemerintah. Kebijakan yang ditetapkan, bisa berubah dalam sehari-dua hari. Ini yang menurut saya harus diubah ke depannya,” ujar Ketua BPK Rizal Djalil di Gedung DPR, Kamis (28/08).
Dia menilai persoalan BBM bersubsidi merupakan PR besar bangsa Indonesia. Menurutnya, perlu ada kesepahaman terlebih dahulu di antara para pemangku kepentingan. Apabila tidak, kebijakan yang dibuat cenderung akan kembali berubah.
Terkait rencana kenaikan harga BBM bersubsidi sebelum atau sesudah Oktober 2014, Rizal menilai tidak perlu dipermasalahkan. Menurutnya, prioritas yang perlu dilakukan pemerintah nantinya, adalah mempersiapkan masyarakat menghadapi kenaikan harga BBM.
“Yang penting masyarakat disiapkan, semua tokoh diajak, dan dikomunikasikan bahwa ini persoalan besar kita bersama. Mau tidak mau persoalan BBM bersubsidi harus diselesaikan, tentunya pasti ada risiko yang harus dihadapi,” katanya.
Rizal berharap pemerintah yang berkuasa tidak menunda persoalan BBM bersubsidi. Dia menilai persoalan BBM bersubsidi telah menyebabkan progres pembangunan daerah kian melambat, terlihat dari porsi anggaran infrastruktur yang rendah.
Ketika ditanya dampak dari kebijakan BBM bersubsidi pemerintah yang tidak konsisten terhadap opini BPK nantinya, Rizal justru memilih tidak berkomentar. Dia hanya berpendapat persoalan BBM bersubsidi ini bakal berdampak buruk terhadap perekonomian Indonesia.
Seperti diketahui, dalam penyampaian Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2013 di Gedung DPR beberapa bulan yang lalu, BPK menemukan masalah signifikan yang perlu mendapat perhatian khusus pemerintah antara lain persoalan subsidi energi.
Dalam temuannya, BPK menilai pemerintah hingga kini tidak memiliki kebijakan dan kriteria yang jelas dalam menentukan sasaran penerima subsidi. Dengan kata lain, sasaran penerima subsidi energi selama ini tidak tepat.
Selain itu, skema subsidi yang diberikan kepada PT Pertamina (Persero) dalam bentuk aliran tunai berpotensi memicu kebocoran pada penyalurannya. Oleh karena itu, perlu adanya evaluasi dan penataan ulang kebijakan subsidi agar tepat sasaran.