Bisnis.com, JAKARTA - Pembangunan Pelabuhan Cilamaya di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, berpotensi mengancam APBN karena operasi dan produksi Blok Offshore North West Java (Blok ONWJ) di lepas pantai kabupaten itu harus ditutup.
Jika pembangunan pelabuhan baru itu tetap dilanjutkan, APBN dikhawatirkan jebol akibat makin berkurangnya produksi minyak dan gas.
"Karena itu, pembangunan Pelabuhan Cilamaya perlu dipertimbangkan lagi," kata pemerhati energi dan ekonomi Darmawan Prasojo di Jakarta, Kamis (21/8/2014).
Menurut dia, pembangunan Pelabuhan Cilamaya akan mengurangi produksi migas nasional akibat Blok ONWJ harus ditutup.
Pasalnya, jalur pelayaran dari dan menuju pelabuhan tersebut akan mengganggu pipa gas PT Pertamina EP yang memasok gas untuk industri di Jawa Barat dan Bus TransJakarta, serta pembangkit listrik Muara Karang dan Tanjung Priok di Jakarta.
Jika pemerintah tetap ngotot membangun pelabuhan di Cilamaya, mau tidak mau negara harus menambah impor migas, sehingga berimplikasi pada membengkaknya APBN.
Karena itu, tegas Darmawan, pemerintah harus mengkaji ulang pembangunan pelabuhan yang berlokasi di Kecamatan Tempuran, Karawang tersebut.
"Bahwa lokasinya kebetulan di dekat kawasan industri, namun jalur pelayarannya akan melewati anjungan lepas pantai. Banyak sekali pipa di dasar laut yang berpotensi terganggu," ujarnya.
Dia menyarankan agar lokasi pelabuhan dipindahkan ke tempat lain yang tidak mengganggu keberlangsungan salah satu industri terpenting, sehingga tercapai win-win solution.
Darmawan menandaskan, harusnya pembangunan sektor transportasi dan industri tidak mematikan sektor energi (minyak dan gas), atau pun sebaliknya. Sebab, kedua sektor itu sama pentingnya, terlebih minyak dan gas.
"Ini membuktikan bahwa perencanaan pembangunan tidak berjalan terintegrasi, sehingga pembangunan di sektor yang satu mematikan sektor lain. Ini kan bagian dari satu rancangan, yang seharusnya terintegrasi dan saling berkomunikasi lintas sektoral dari awal, sehingga tidak terjadi perencanaan pembangunan, apapun namanya, tanpa konsultasi dengan stakeholder di sektor lain. Inilah egoisme sektoral," tandasnya.
Akademisi geopolitik dan ekonomi Dirgo W Purbo sempat menyebutkan menurunnya produksi migas akan memaksa Indonesia harus menambah impor, terlebih saat ini produksi nasional hanya mencapai 780.000 barel per hari.
"Saat ini jumlah produksi minyak nasional hanya 780.000 barel per hari, tidak sampai 800.000 barrel. Padahal target produksi/lifting minyak bumi Indonesia harusnya mencapai 1 juta barrel per hari," ujarnya.