Bisnis.com, JAKARTA—Pasca diterbitkannya Rancangan APBN 2015 beberapa hari yang lalu, Dirjen Pajak meminta adanya tambahan anggaran Ditjen Pajak sebesar Rp2 triliun-Rp3 triliun guna meningkatkan kapasitas otoritas pajak.
“Idealnya memang seperti itu. Tapi terserah pemerintah yang akan datang. Saya kan tahun ini sudah pensiun. Jadi enggak ngurusin ini lagi,” ujar Dirjen Pajak Fuad Rahmany di Gedung Utama Ditjen Pajak, Rabu (20/8/2014).
Dia mengungkapkan anggaran Ditjen Pajak pada tahun depan hanya dialokasikan sekitar Rp5 triliun. Menurutnya, perlu ada tambahan Rp2 triliun-Rp3 triliun untuk memperkuat kapasitas Ditjen Pajak, seperti SDM, infrastruktur kerja, kantor baru hingga fasilitas teknologi informasi.
Fuad menjelaskan upaya ekstensifikasi membutuhkan anggaran yang cukup besar. Sayangnya, anggaran yang dialokasikan untuk Ditjen Pajak selama ini masih rendah. Padahal, Ditjen Pajak menyumbang lebih dari 50% dari total penerimaan negara.
Alhasil, sumbangan penerimaan pajak dari ekstensifikasi masih minimal, dan pertumbuhan rasio penerimaan pajak hanya naik tipis. Sekadar informasi, rasio penerimaan pajak atau tax ratio tahun lalu sekitar 12%.
Dengan kata lain, Indonesia bisa dikatakan negara yang tertinggal dalam hal pengumpulan pajak jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Filipina 14,4%, Vietnam dan India 15%, Malaysia 15,5%, Tiongkok dan Thailand 17%.
Selain tambahan insentif, Fuad berharap pembentukan Badan Penerimaan Negara dapat segera direalisasikan pemerintah mendatang guna mengamankan target penerimaan pajak 2015 sebesar Rp1.110 triliun, atau tumbuh 12%.
“Usul untuk pemerintah baru, dalam setahun ini, paling mungkin dari sisi insentif dulu lah, biar temen-temen Ditjen Pajak bisa kerja lebih baik lagi, dan diharapkan target penerimaan pajak tahun depan bisa terealisasi,” katanya.
Seperti diketahui, target penerimaan pajak tidak pernah tercapai sejak 2007, atau sejak era Dirjen Pajak Darmin Nasution. Bahkan, selama 4 tahun kepemimpinan Fuad Rahmany, target penerimaan pajak tidak pernah sekalipun terealisasi.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai rendahnya anggaran Ditjen Pajak mencerminkan belum adanya perhatian dari Presiden dan DPR dalam memperkuat kapasitas Ditjen Pajak.
“Terlepas dari isu remunerasi, memang anggaran Ditjen Pajak saat ini terlalu rendah jika dibandingkan dengan fungsinya sebagai pemungut pajak. Bahkan, pengeluaran biaya rutin petugas pajak saja, mereka kekurangan,” tuturnya.
Selain biaya rutin yang kurang, Yustinus berpendapat alokasi biaya kerjasama dengan pihak lainnya, seperti Polri, Kejaksaan, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga tidak ada. Menurutnya, Ditjen Pajak seringkali kesulitan untuk mengalokasikan pengeluaran itu.
Padahal, sambungnya, Ditjen Pajak membutuhkan dukungan yang penuh, terutama aparat penegak hukum guna menjamin keamanan para petugas pajak ketika mereka menjalankan tugasnya dalam mengumpulkan pajak dari wajib pajak.
“Kalau Ditjen Pajak memang insttusi yang penting, seharusnya didanai semaksimal mungkin, tetapi sayangnya selama ini tidak ada. Saya kira wajar jika ada permintaan sebesar itu, bahkan hingga Rp10 triliun pun, saya kira tidak masalah,” tuturnya.
Yustinus menuturkan penambahan anggaran Ditjen Pajak belum tentu menjamin target penerimaan pajak terealisasi. Meskipun demikian, lanjutnya, penambahan anggaran tersebut setidaknya bisa menjaga penerimaan pajak tumbuh lebih stabil.