Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Keuangan M. Chatib Basri menyampaikan pengurangan drastis bea keluar bagi eksportir yang serius membangun smelter dilakukan sebagai jalan tengah untuk menyelamatkan penerimaan negara dan membuat pengusaha membangun smelter.
Menurutnya, tarif 7,5% adalah angka moderat yang memungkinkan eksportir dapat melakukan pengapalan sekaligus menyelamatkan penerimaan negara. Meskipun demikian, lanjutnya, tujuan utama penerapan bea keluar bukan untuk mengerek penerimaan negara, melainkan penghiliran industri tambang mineral.
"Faktanya, dengan bea keluar 25% selama ini (bea keluar konsentrat tembaga dengan kadar 15%), tidak ada penerimaan negara sama sekali karena pengusaha tidak mau ekspor," ungkapnya melalui telepon, Senin (4/8/2014) malam.
Chatib mengatakan setidaknya ada tiga keuntungan yang didapat dengan dispensasi tarif itu, yakni ekspor mineral dapat berjalan sehingga memperbaiki performa neraca perdagangan, penerimaan negara bertambah, dan smelter terbangun.
Dokumen PMK No. 153/PMK. 011/2014 yang diteken Menkeu 25 Juli 2014 atau sehari sebelum libur Lebaran 2014 menyebutkan eksportir yang membangun fasilitas pemurnian atau melakukan kerja sama pembangunan fasilitas pemurnian hanya akan dikutip bea keluar 7,5%, dan terus berkurang jika realisasi investasi smelter semakin meningkat.
Rinciannya, untuk kemajuan pembangunan sampai dengan 7,5% dari nilai investasi, termasuk penempatan jaminan kesungguhan, atau tahap I, bea keluar hanya dikutip 7,5%. Untuk kemajuan pembangunan 7,5%-30% atau tahap II, bea keluar dikenai 5%. Adapun, untuk kemajuan pembangunan di atas 30% atau tahap III, tarif dikutip 0%. Tarif itu berlaku setelah 7 hari sejak aturan diundangkan hingga 12 Januari 2017.
Menkeu yakin eksportir tidak akan mengingkari komitmen pembangunan fasilitas pemurnian ketika sudah memperoleh pembebasan tarif.
Berdasarkan studi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), lanjutnya, pengusaha akan rugi ketika proyek yang sudah terealisasi 30% dibuat terbengkalai.
Dalam PMK, tahapan kemajuan pembangunan smelter harus dicantumkan dalam rekomendasi ekspor yang diterbitkan Kementerian ESDM. Dengan demikian, kata Chatib, pengusaha yang tidak melanjutkan pembangunan setelah realisasi investasi mencapai 30% pada 12 Januari 2017, tidak akan mendapat rekomendasi ekspor dari Kementerian ESDM.
"Ini yang disebut ESDM sebagai point of no return. Katakanlah investasi smelter Freeport Rp24 triliun. Kalau dia sudah investasi Rp8 triliun, mereka enggak akan biarkan itu menguap," ujar Chatib.