Bisnis.com, JAKARTA--Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyatakan pengusaha hasil olahan kelapa sawit tidak boleh menaikkan harga jual produk sebagai dampak pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN).
Mahkamah Agung (MA) sebelumnya membatalkan sejumlah pasal di PP No.31/2007 yang menetapkan barang hasil pertanian yang dihasilkan dari usaha pertanian, perkebunan, dan kehtanan, sebagai barang yang dibebaskan dari pengenaan PPN.
Dengan demikian, para eksportir komoditas, seperti hasil olahan kelapa sawit bisa mengkreditkan seluruh pajak masukan mulai dari proses produksi tandan buah segar di kebun hingga pengolahannya di pabrik untuk kemudian merestitusinya mengingat tarif PPN barang kena pajak (BKP) ekspor adalah 0%.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Kebijakan Moneter, Fiskal, dan Publik Hariyadi Sukamdani mengatakan dengan keputusan tersebut industri pengolahan kelapa sawit bisa lebih efisien. Hal ini karena seluruh proses dari hulu ke hilir direstitusi.
“Jadi, seharusnya tidak boleh ada kenaikan harga karena kan ada kompensasi restitusi. Industri ini jadi efisien, jadi tidak bisa menaikkan harga jual produk olahannya ke konsumen,” ujarnya di Jakarta, Rabu (16/7/2014).
Komisaris Wilmar Group M.P. Tumanggor mengatakan keputusan pemerintah tersebut dipastikan dibuat untuk kebaikan negara, pengusaha dan petani. Menurutnya, jangan dilihat bahwa sawit kini dikenakan PPN, tetapi harus dilihat dari sisi lain bahwa pemerintah memiliki pertimbangan khusus. Adanya aturan ini, bisa meningkatkan industri CPO terintegrasi.
“Kalau terintegrasi bisa direstitusi. Namun, kalau dia tidak terintegrasi dari memiliki kebun hingga refinery mungkin tidak bisa direstitusi. Ini langkah untuk mengembangkan petani juga,” paparnya.
Dia menilai keputusan ini tidak akan membebani biaya produksi perusahaan. Meski demikian, pihaknya tidak menyangkal ini akan menaikkan harga jual produk turunan CPO, seperti minyak goreng. “Bia saja, misalkan kena PPN 10%, besok minyak goreng bisa naik sedikit.”