Bisnis.com, JAKARTA -- Ekonom memperkirakan defisit transaksi berjalan kuartal II/2014 tidak akan terlalu menekan rupiah asalkan tidak lebih dari 4% terhadap produk domestik bruto.
Siklus pelebaran defisit transaksi berjalan setiap April-Juni akibat lonjakan impor dan derasnya repatriasi laba diperkirakan masih terjadi tahun ini meskipun diyakini lebih baik dari tahun lalu. Bank Indonesia dan pemerintah membuat proyeksi yang tidak jauh berbeda, yakni defisit akan berkisar US$9 miliar.
Angka ini lebih dari dua kali lipat defisit transaksi berjalan Januari- Maret 2014 yang hanya US$4,2 miliar atau 2,1% terhadap PDB, tetapi lebih baik dari periode sama tahun lalu yang mencapai US$10,1 miliar atau 4,4% terhadap PDB.
Analis Mandiri Sekuritas Aldian Taloputra mengatakan tekanan terhadap rupiah seusai Pilpres 2014 akan bergantung pada performa transaksi berjalan.
“Ini [rupiah] akan sangat bergantung berapa persen [defisit] terhadap GDP-nya [PDB]. Selama di bawah 4%, tidak masalah. Tapi kalau di atas 4%, tekanannya akan besar,” katanya saat dihubungi, Minggu (13/7/2014).
Mengacu pada proyeksi otoritas moneter dan fiskal sebesar US$9 miliar, Aldian memperkirakan defisit transaksi berjalan akan berkisar 3,8%-4% terhadap PDB. Adapun rupiah akan diuji pada rentang Rp11.700-Rp11.800 per dolar AS, dengan asumsi situasi kondusif pascapengumuman hasil Pilpres 22 Juli.
Ekonom Bank DBS Gundy Cahyadi menuturkan pasar akan lebih melihat rasio defisit terhadap PDB ketimbang nominalnya karena lebih merepresentasikan kondisi fundamental RI. “Kalau di bawah 4%, sentimennya tidak akan terlalu luar biasa,” ujarnya.