Bisnia.com, JAKARTA - Kalangan akademisi menilai waktu 2 tahun yang diberikan pemerintah kepada petani untuk melakukan sertifikasi biji kakao tidak realitas dan harus diperpanjang.
"Waktu 2 tahun itu masih kurang kalau untuk targetnya secara total," kata Direktur Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Teguh Wahyudi kepada Bisnis.com, Rabu (11/6/2014).
Sebab, ada faktor kultural yang menghambat penerapan tersebut secara menyeluruh, yaitu kebiasaan petani yang tidak memfermentasi hasil panennya.
Sebelumnya, Kementan baru saja merilis beleid dengan judul Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 67/2014 tentang Persyaratan Mutu dan Pemasaran Biji Kakao yang mengatur pembentukan otoritas di level petani, pemerintah daerah dan pusat.
Selain itu, Permentan anyar itu juga melansir standarisasi biji kakao yang dinilai layak sebelum dipasarkan, yaitu sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 2323:2008/2010.
Meskipun demikian, Teguh masih optimis sertifikasi tersebut bisa berjalan apabila diterapkan secara tegas karena memang cocok bagi kebutuhan industrial.
Dia menjelaskan SNI yang diisyaratkan oleh Permentan itu adalah adopsi dari pasar Eropa dan telah disosialisasikan sejak terbit, yaitu pada 2008.
Demi menjalankan hal itu, katanya, pemerintah perlu melakukan beberapa hal, yaitu sosialiasi secara masif kepada seluruh stakeholder. Selain itu, dia menuturkan pemerintah harus mempersiapkan sarana dan prasarana seperti laboratorium uji dan sumber daya manusia (SDM) di lapangan.
Selama ini, Teguh menjelaskan bahwa banyak laboratorium uji yang sudah tidak aktif dan tidak mendapatkan sampel. Apabila hal ini terus terjadi, maka pemerintah dan petani sendiri yang akan rugi. "Kalau biji kakaonya petani tidak bisa dipasarkan gara-gara tidak disertifikasi, bagaimana?"