Bisnis.com, JAKARTA—PT Pertamina Hulu Energi (PHE) meminta pemerintah mengkaji ulang pembangunan pelabuhan Cilamaya, Karawang, yang masuk dalam Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
Direktur Utama PT Pertamina Hulu Energi (PHE) Ignatius Tenny Wibowo mengatakan pihaknya akan senang jika proyek pelabuhan yang rencananya akan mulai masuk penyiapan desain pada Juni mendatang dipindahkan ke lokasi lain.
Pasalnya, pembangunan pelabuhan itu akan mengancam produksi dan distribusi minyak dan gas Pertamina. Lokasi pelabuhan berada tepat di blok migas yang dikelola Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (ONWJ).
“Beberapa anjungan akan stop produksi kalau pelabuhan jadi dibangun. Akibatnya, bakal berimbas pada penurunan produksi,” katanya, Kamis (23/5/2014).
Dia menjelaskan produksi minyak PHE ONWJ berhasil mencapai produksi harian 46.200 barel minyak per hari (BOPD) yang merupakan rekor produksi tertinggi sejak diambil alih Pertamina pada 2009.
“Kalau ada pelabuhan, kami tidak bisa menjamin produksi akan tetap tinggi,” ungkapnya.
Selain itu, pembangunan pelabuhan juga akan mengganggu distribusi minyak dan gas yang dialirkan melalui pipa yang tersebar di sepanjang Laut Jawa. Dia menyebutkan pipa di Laut Jawa sepanjang 1.700 kilometer. “Cilamaya berada di tengah-tengah jaringan pipa tersebut.”
Akibatnya, distribusi migas milik Pertamina akan terganggu. Pasokan minyak Pertamina dialirkan dari barat ke timur kemudian di kumpulkan di utara Subang. Sementara untuk gas, tambahnya, distribusi mengalir dari timur ke barat. Akhirnya, gas tidak dapat disimpan di barat.
Menurut Tenny, sebagian besar market gas Pertamina berada di wilayah barat untuk memasok pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU) Muara Karang dan Tanjung Priok.
“Pelabuhan yang dibangun berpotensi mengganggu pasokan listrik di Jakarta,” katanya.
Tak hanya itu, persoalan keamanan juga membayangi proyek yang senilai Rp34,5 triliun tersebut. Tenny menyebutkan pelabuhan Cilamaya merupakan pelabuhan besar yang akan dilalui kapal-kapal berkapasitas besar pula.
Menurutnya, keberadaan kapal besar pada jaringan pipa sangat berbahaya. “Misalnya risiko pipa terkena jangkar ketika kapal berlabuh. Kalau itu terjadi, akibatnya sangat berbahaya.”
Jika pelabuhan tetap berada di Cilamaya dan pipa masih mau dipakai, katanya, harus dilakukan pendalaman pipa pada jarak tertentu sehingga aman walaupun kapal-kapal besar melintas.
Namun, pendalaman pipa di tengah laut tidak semudah mendalamkan pipa di darat. Selain itu, biaya yang harus dikeluarkan akan sangat besar. “Butuh dana jutaan dollar untuk menanam pipa lebih dalam.”
Menurut Tenny, keberadaan pelabuhan juga mengancam potensi cadangan minyak yang tersebar di wilayah tersebut. “Kalau bangun anjungan baru kemudian stop karena pembangunan pelabuhan, tentu akan merugikan kami.”
Terkait gangguan tersebut, Pertamina dan pemerintah tengah membahas seluruh konsekuensi dari proyek yang diharapkan mampu mengurangi kepadatan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
“Kami terus berbicara dengan pemerintah. Saat ini telah ada tim independen yang menilai pengaruh dan dampak pelabuhan terhadap produksi dan distribusi migas,” ujarnya.