Bisnis.com, JAKARTA - Setelah mengalami kerugian lebih dari US$1,4 miliar pada kuartal I/2014 akibat larangan ekspor mineral mentah, pemerintah memperingatkan kerugian belum berhenti dan bisa mencapai titik lebih rendah dalam beberapa bulan ke depan.
Wamen Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengungkapkan akumulasi dari tekanan ekspor akibat UU Minerba akan terus berlanjut. Menurut perhitungan Kemendag, potensi kerugian negara akibat larangan ekspor ore bahkan akan menyentuh kisaran US$5,5 miliar-US$6 miliar hingga akhir tahun ini.
“Seperti diduga, minerba yang paling besar [dampaknya terhadap kinerja ekspor]. Memang terjadi pelemahan ekspor, tapi secara keseluruhan sebenarnya neraca perdagangan kita mulai membaik bila dibandingkan dengan kuartal I/2013, yang mana kita tertekan defisit,” jelasnya.
Penyumbang terbesar terhadap kontraksi kinerja ekspor ditorehkan dari penjualan kerak dan abu logam yang mencapai US$300 juta pada kuartal I/2014, atau terjun bebas dari capaian US#1,3 miliar dari periode yang sama tahun lalu.
Ekspor timah pada kuartal pertama tahun ini adalah US$390 juta, anjlok dari US$650 juta pada kuartal I/2013. Sementara itu, ekspor tembaga merosot menjadi US$360 juta pada kuartal satu tahun ini, dari US$460 juta periode yang sama tahun sebelumnya.
“Jadi kalau turun, memang benar. Namun, pada saat bersamaan, kita berhasil mengendalikan laju impor sehingga neraca perdagangan kita kuartal I/2014 masih bisa surplus. Kalau kuartal pertama neraca bisa surplus US$1,1 miliar, maka cukup beralasan kalau kami optimistis,” kata Bayu.
Dia berpendapat racikan kebijakan moneter dan fiskal yang didukung oleh kebijakan perdagangan saat ini telah cukup tepat untuk menyembuhkan neraca perdagangan. Hal itu terbukti dari penurunan laju impor selama Januari-Maret 2014.
Namun, bila dicermati lebih dalam, penurunan impor paling banyak terjadi pada barang modal yang mencapai minus 6,5% dan bahan baku penolong yang minus 5,8%. Seharusnya, kondisi tersebut perlu ditelaah ulang untuk membuktikan apakah memang struktur perdagangan telah cukup sehat.
“Ini harus sangat kami cermati. Kalau ini hanya merupakan siklus produksi, tidak apa-apa karena nanti dia akan merangkak naik lagi. Namun, kalau ini sifatnya struktural, kami harus waspadai, karena nanti bisa berdampak pada kapasitas produksi dan itu implikasnya akan menekan kinerja ekspor pada periode berikutnya.”
Sebagaimana diketahui, kontraksi sebesar 0,78% pada sektor ekspor merupakan penyumbang terbesar penurunan pertumbuhan PDB Indonesia pada kuartal pertama tahun ini. Pemerintah menunjuk larangan ekspor ore sebagai kambing hitam turunnya kinerja ekspor.
Pada Kamis (8/5), Bank Indonesia melalui rapat dewan gubernur, juga mengoreksi pertumbuhan Indonesia pada level 5,1%. Meskipun demikian, otoritas perdagangan masih berpandangan optimistis kinerja ekspor bisa diperbaiki sesuai target pertumbuhan 4,1%.
“Ke depan, sebenarnya kami tidak terlalu pesimistis karena ekspor Maret secara month-on-month menguat hampir 4%, meski secara kuartal memang melemah. Namun, secara year-on-year, ekspor pada Maret masih positif 1,2%. Ini indikasi bahwa kita masih cukup beralasan untuk optimistis memandang perdagangan 2014,” tutur Bayu.