Bisnis.com, JAKARTA—Sejak 1998-2019, Indonesia dibebani utang Coremap (Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang) sebesar US$85,75 juta atau setara dengan Rp1,44 triliun.
Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengatakan, tanpa utang, masyarakat Indonesia mampu memperbaiki kerusakan terumbu karang yang lebih disebabkan oleh pemakaian alat tangkap merusak trawl, pencemaran laut dan lemahnya penegakan hukum.
“Untuk penyelamatan terumbu karang, sudah semestinya dikedepankan semangat gotong-royong yang menjadi karakter masyarakat Indonesia,” ujarnya dalam keterangan resmi, Rabu (7/5/2014).
Menurutnya, di level masyarakat pesisir, kesadaran mengenai rusaknya terumbu karang yang berakibat pada menurunnya hasil tangkapan ikan terus meningkat. Hal ini mendorong masyarakat untuk berinisiatif menyelamatkan terumbu karang secara swadaya.
Pusat Data dan Informasi KIARA (2014) menemui fakta di Kepulauan Aru (Maluku) dan Pulau Lembata (NTT) bahwa kerusakan terumbu karang disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum atas pemakaian alat tangkap merusak.
“Anehnya, fakta pengeboman di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, yang diduga melibatkan lembaga konservasi asing dibiarkan tanpa ditindak tegas,” beber Abdul.
Di lain sisi, lanjut Abdul, masyarakat nelayan tradisional telah berulangkali menyampaikan laporan tanpa kesungguhan menindaklanjutinya. Adapun rehabilitasi karang dapat dilakukan tanpa hutang jika pemerintah bersungguh-sungguh dan memprioritaskan jiwa swadaya atau gotong-royong masyarakat nelayan.
Contohnya di Aru dan Lembata, masyarakat nelayan bahkan melakukan upaya-upaya preventif untuk mencegah kerusakan laut dengan mengedepankan kearifan lokal dalam mengelola kekayaan lautnya.
Perbaikan terumbu karang, tambah Halim, mutlak diperlukan di tengah masih maraknya pemakaian alat tangkap merusak, seperti trawl, potasium, dan bom, di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang terang-benderang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
Sementara itu, Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bakal menyelenggarakan World Coral Reef Conference (WCRC) 2014 di Manado pada 16 Mei mendatang.
Acara itu akan dihadiri setidaknya 200 peserta dari 100 negara yang mewakili unsur pemerintah, organisasi regional dan internasional, NGO, serta para ilmuwan dan akademisi. Presiden Republik Indonesia diagendakan akan membuka konferensi tersebut.
Sudirman Saad, Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) selaku Ketua Pelaksana Panitia Nasional WCRC 2014 menjelaskan,WCRC diselenggarakan dengan beberapa tujuan.
“Pertama, untuk merumuskan upaya-upaya pemerintah dalam mengelola terumbu karang dunia secara berkelanjutan,” ujarnya di Jakarta, Selasa (6/5).
Kedua, sebagai wadah untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang lokal. Kemudian, untuk mengkaji kondisi terumbu karang dunia dan kaitannya dengan peran laut dalam perubahan iklim global serta pengelolaannya yang terkini dan dampaknya bagi kelangsungan usaha perikanan.
“Keempat, menghimpun dan merumuskan nilai-nilai kebersamaan, menyamakan persepsi dan tujuan dalam pelestarian dan pemeliharaan ekosistem terumbu karang oleh masyarakat,” ucapnya.
Lebih lanjut, konferensi ini juga bertujuan untuk menginventarisasi, kompilasi, sinkronisasi dan menetapkan kebijakan serta tindakan nyata dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya terumbu karang.