Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah akan mengubah dua Undang-Undang guna menyiasati agar rencana pembatasan besaran anggaran belanja daerah yang disimpan di deposito berjangka tidak berbenturan dengan prinsip desentralisasi fiskal.
UU yang akan direvisi adalah UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Revisi juga merupakan upaya sinkronisasi kedua regulasi.
Dirjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Kementerian Keuangan Boediarso Teguh Widodo mengatakan revisi UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah akan mencantumkan mekanisme hukuman (punishment) bagi pemerintah daerah yang mengendapkan dananya terlalu lama di perbankan.
Judul UU pun diusulkan diganti menjadi RUU Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (RUU HKPD).
“Itu (pembatasan deposito pemda) hanya bagian kecil. Di situ (revisi UU Perimbangan Keuangan) nanti banyak, ada reward and punishment untuk, misalnya kalau dia terlambat menyampaikan report, mengendapkan transfer daerah lebih dari sekian bulan,” katanya, Senin (28/4/2014).
Meskipun demikian, dia menolak menjelaskan formula yang akan dipakai untuk membatasi besaran deposito dengan alasan menunggu hingga draf RUU disampaikan ke DPR.
Saat ini, lanjutnya, draf RUU itu tinggal menunggu diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Draf tersebut menurutnya sudah disepakati oleh menteri-menteri terkait, seperti menko perekonomian, menteri keuangan, menteri perencanaan pembangunan nasional serta menteri hukum dan hak asasi manusia.
“Mudah-mudahan minggu ini segera ditandatangani ampres-nya (amanat presiden), surat dari Presiden ke DPR untuk menyampaikan draf RUU sekaligus menugaskan menteri-menteri terkait untuk mewakili Presiden membahas RUU HKPD ini,” kata Boediarso.
Seperti diketahui, pemerintah berencana membatasi besaran dana yang bisa disimpan dalam bentuk deposito berjangka agar kewenangan untuk berinvestasi tidak justru meninggalkan tugas pemda yang utama untuk menyediakan layanan publik.
Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah yang Berasal dari Penerimaan Silpa 2013 yang diterbitkan Ditjen Perimbangan Keuangan menyebutkan Silpa daerah terus meningkat dalam kurun 4 tahun terakhir. Besaran SiLPA 2012 hampir mencapai dua kali lipat dari Rp52 triliun pada 2009 menjadi Rp 97 triliun pada 2012.
Laporan itu menyebutkan Silpa yang tinggi membawa dampak positif, yakni adanya imbal balik yang diterima pemda dari Silpa yang disimpan di perbankan berupa jasa giro atau pendapatan bunga yang masuk dalam akun lain-lain PAD yang sah.
Namun, kondisi itu juga mendatangkan dampak negatif, yakni belanja daerah yang tertunda. Dari daerah sampel, belanja untuk kegiatan fungsi pendidikan merupakan belanja yang paling banyak tertunda. Fungsi pelayanan umum merupakan fungsi belanja kedua yang banyak tidak terserap.