Bisnis.com, JAKARTA - Ketua Forum Komunikasi Pengusaha Tambang Aceh Rizal Kasli meminta agar pemerintah mempertimbangkan kembali rencana menaikkan royalti batu bara 13,5% pada tahun ini.
Pasalnya, harga batu bara di pasar dunia sedang terjerembab atau berada di level terendah dalam kurun empat tahun terakhir. Penyebabnya melimpahnya pasokan global dan penurunan impor oleh China.
“Jika pemerintah tetap menaikkan royalti, bisa dipastikan banyak perusahaan tambang batu bara yang gulung tikar. Ujung-ujungnya pasti akan terjadi gelombang PHK besar-besaran. Itu yang tidak kami inginkan,” ujar Rizal saat dihubungi wartawan Senin (21/4/2014).
Pernyataan ini merupakan sikap Forkom Pengusaha Tambang atas rencana pemerintah melalui Kementerian ESDM yang akan menaikkan royalti batu bara menjadi 13,5% pada pertengahan 2014.
Rencananya, kenaikan royalti ini akan menyasar perusahaan tambang batu bara yang memegang izin usaha pertambangan (IUP) dengan tetap tidak memberatkan pelaku usaha. Caranya dengan mengevaluasi struktur cost-nya, keekonomiannya, kepastian besaran royalti sehingga tercapai win-win solutuion.
“Bagi perusahaan win bagi pemerintah win, pemerintah dalam artian pusat, provinsi dan daerah," katanya.
Namun, Rizal pesimistis dengan rencana tersebut yang tidak akan memberatkan pelaku usaha karena yang paling terdampak adalah perusahaan kecil berlisensi IUP. Kondisi ini tentu akan memengaruhi produksi batu bara nasional yang tahun ini ditarget 430 juta ton.
Target itu berpotensi terkoreksi 12% menjadi hanya 360 juta ton karena nilai produksi IUP kecil sekitar 50 juta ton hingga 60 juta ton per tahunnya.
“Yang saya tahu, di Indonesia ini perusahaan-perusahaan besar berlisensi PKP2B yang masih mendominasi pertambangan batu bara. Nilainya bisa mencapai 300 juta ton, sedangkan sisanya berasal dari perusahaan kecil berlinsensi IUP,” ujar Rizal.
Bagi Rizal, pemerintah seharusnya benar-benar membedakan penerapan royalti antara penambang batu bara berkalori tinggi dengan yang berkalori rendah.
Alasannya, jika yang berkalori tinggi, harganya bisa naik lebih dari US$10 dalam kurun waktu tertentu, kenaikannya sangat linier. Kondisi ini tidak dialami oleh batu bara berkalori rendah. “Kenaikannya hanya US$1, itu pun tidak bisa diprediksi. Jadi sangat tidak seimbang,” ujarnya.
Karena itu, Rizal meminta kepada pemerintah agar tidak menaikkan royalti. Sebagai gantinya, pelaku usaha batu bara berkalori rendah ini diberikan insentif.
“Lebih baik memberikan insentif berupa royalti lebih rendah kepada pelaku usaha yang menjalakan prinsip good mining practice, ketimbang menaikan royalti,” ujarnya.
“Nah, perusahaan yang tidak menjalankan prinsip ini, dikenakan beban yang lebih tinggi. Bahkan, bila perlu diberikan terminasi atau diberhentikan kegiatan pertambangannya.”
Rizal mengingatkan bahwa biaya produksi untuk menambang batu bara itu sama saja antara yang berkalori rendah maupun yang tinggi. Hanya yang membedakan itu karena adanya sthping ratio, lokasi tambang, ketebalan sin, dan kualitas batu bara.
“Jika faktor ini menjadi pertimbangan, tentu saja rencana pemerintah yang akan menyamakan royalti IUP dan PKP2B jelas sangat tidak adil,” tuturnya.
Di sisi lain, Rizal juga meminta agar pelaku usaha lokal dilibatkan dengan membuka PLTU di mana spesifikasi batu baranya disesuaikan dengan batu bara yang ada di sekitar pabrik, terutama di Aceh yang memiliki batu bara berkalori rendah. Dengan demikian, PLTU tidak terlalu bergantung pada batu bara impor dan pelaku penambang batu bara lokal akan semakin memiliki pasar yang luas.