Bisnis.com, JAKARTA - Penandatanganan rencana perjanjian bilateral Indonesia-Korea Selatan yang akan diwujudkan dalam Indonesia Korea Comprehensive Economic Partnership Agreement (IK-CEPA) dinilai tidak mendesak dilakukan sehingga tidak perlu terburu-buru diputuskan tahun ini.
Senior Economist Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Ina Primiana mengatakan rencana perjanjian tersebut jangan ditandatangani bila dalam jangkan panjang masih merugikan pihak Indonesia.
Menurutnya, disepakatinya perjanjian bilateral kedua negara tersebut bukanlah suatu prestasi sehingga bila tidak ada win-win solution, tidak perlu diputuskan.
“Malah saya katakan, bertahannya Indonesia ini adalah suatu prestasi. Jangan mau mengikuti asal tandatangan saja, pihak Kementerian Perindustrian bisa mengukur kemampuan Indonesia, ini suatu kemajuan buat Indonesia kalau Indonesia masih memikirkan jangka panjang,” kata Ina kepada Bisnis, Selasa (22/4/2014).
Selama ini, perjanjian bilateral yang ada sebagian besar justru masih merugikan Indonesia. Untuk itu, kata Ina, bila saat ini Indonesia bertahan adalah suatu jalan yang bagus agar tidak jatuh pada lubang yang sama. “Ini kan bukan suatu prestasi, untuk apa terburu-buru, tunda saja tidak masalah,” tambahnya.
Sejak awal, dalam perjanjian yang direncanakan disepakati tahun lalu ini, pihak Kemenperin ingin agar dalam perjanjian ada soal klausul investasi. Hal ini untuk meningkatkan sektor industri dalam negeri.
Menurut Ina, langkah tersebut memang benar. Dengan masuknya investasi, peningkatan perdagangan akan terjadi dengan sendirinya Indonesia membutuhkan investasi dari Korea Selatan, khususnya yang memiliki transfer teknologi lantaran Korsel termasuk negara berteknologi tinggi.
Selain itu, dia berharap Korsel bisa berinvestasi di sektor yang bahan bakunya sudah tersedia di Indonesia. Misalnya, industri kosmetika dan penghiliran.
“Yang kita bisa dan Korea bisa, itu yang harus. Kemudian kosmetika, kan bahan baku di dalam negeri banyak, ada rumput laut dan sebagainya, kenapa tidak dicoba berinvestasi di Indonesia.”
Direktur Jenderal Kerjasama Industri Internasional Kementerian Perindustrian Agus Tjahajana Wirakusumah mengatakan sampai dengan perundingan ketujuh, kedua belah pihak masih bertahan dengan keputusannya.
“Dan mereka [Korsel] maunya sampai perundingan ketujuh saja, artinya sama dengan yang disampaikan pak Lutfi [Menteri Perdagangan M. Lutfi] beberapa waktu lalu,” ujar Agus yang masuk dalam tim negosiasi.
Sebelumnya, Mendag menyatakan masih mempertimbangkan beberapa opsi untuk bisa mengatur klausul investasi dalam perjanjian tersebut.
Pasalnya, bila klausul investasi di masukkan dalam perjanjian, akan ada permasalahan struktural yang tidak jalan. Menurutnya, dalam perjanjian antar pemerintah itu, pemerintah hanya bisa mengatur soal tarif (perdagangan). Dengan kata lain, sulit untuk memasukkan klausul investasi.