Bisnis.com, JAKARTA---Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) minta pemerintah mengkaji ulang harga tender biodiesel guna menyelamatkan investasi di sektor industri bahan bakar nabati tersebut yang tertunda tahun ini akibat tidak ekonomisnya harga tender biodesel Pertamina.
Ketua Harian Aprobi Paulus Tjakrawan di Jakarta, Senin mengatakan beberapa perusahaan berencana menghentikan sementara investasinya karena tidak ekonomisnya formula harga tender biodiesel yang ditawarkan Pertamina.
"Total investasi yang tertunda sampai tahun ini diperkirakan 700.000 kiloliter. Padahal dengan tambahan investasi ini diharapkan total kapasitas produksi biodiesel mencapai 6,3 juta kl," katanya seperti dikutip Antara, Senin (17/3/2014).
Investor tersebut berencana menambah kapasitas di beberapa wilayah seperti Kalimantan, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan.
Menurut Paulus Tjakrawan, tahun ini tidak akan ada penambahan kapasitas produksi biodiesel setelah penghentian sementara invetasi tersebut.
Sampai tahun 2013, jumlah kapasitas produksi terpasang industri biodiesel sebesar 5,6 juta kL.
"Banyak yang menghitung kembali investasi biodiesel tahun ini. Tapi, kami harapkan investor tidak melarikan modalnya ke luar negeri," katanya.
Sekjen Aprobi, Togar Sitanggang mengatakan, secara umum harga biodiesel sekarang ini kurang kondusif bagi perusahaan biodiesel.
Penyebabnya, tambahnya, formula harga MOPS (Mean Oil Platt Singapore atau harga rerata transaksi bulanan minyak di pasar Singapura) solar maksimal yang dipakai Pertamina tidak memperhitungkan harga CPO yang menjadi bahan baku biodiesel.
Seperti sekarang ini, harga CPO sudah di kisaran 880 dolar AS per ton ditambah dengan biaya olah sebesar 150 dolar AS per ton sehingga total biaya pokok produksi mencapai 1.050 dolar AS per ton.
Itupun biaya transportasi masih ditanggung oleh produsen, tambahnya, sedangkan, harga MOPS solar sekitar 888,3 dolarAS per ton.
"Dengan harga ini jelas kami rugi karena CPO sebagai bahan baku, harganya sudah lebih tinggi dari MOPS solar. Selain itu, muncul ketidakpastian," kata Togar Sitanggang.
Paulus Tjakrawan mengatakan pada 2013 Pertamina memakai Harga Indeks Pembelian (HIP) sebagai rujukan harga pembelian biodiesel dari produsen yang mengacu kepada Harga Patokan Ekspor (HPE) yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan setiap bulannya.
"Tetapi mulai tahun ini digunakan harga tender yang menimbulkan ketidakpastian bagi perusahaan biodiesek," katanya.
Asosiasi meminta tim perumus harga biodiesel yang berasal dari unsur pemerintah supaya mengkaji lagi harga biodiesel.
Paulus Tjakrawan menyatakan produsen tidak keberatan Pertamina memakai MOPS solar asalkan hanya ditujukan kepada biodiesel bersubsidi atau Public Service Obligation (PSO).
Tapi untuk biodiesel non subsidi, idealnya kata Paulus, digunakan harga komersial yang wajar dan ekonomis.
Pada 2014, asosiasi produsen biofuel memproyeksikan total produksi biodiesel mencapai 5,2 juta kL yang mana untuk memenuhi kebutuhan domestik sebesar 3 juta kL dan ekspor 2,2 juta kL.