Bisnis.com, JAKARTA-Pelaku industri furnitur khawatir dengan minimnya bahan baku kayu dalam negeri di tengah berkembangnya industri mebel rerata tumbuh 14% per tahun. Kekhawatiran itu lantaran Indonesia saat ini impor kayu sebanyak 200.000 ton per tahun atau setara 35%.
Sekjen Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI) Abdul Sobur mengatakan impor bahan baku kayu terbanyak dari Amerika Serikat yang mencapai 30%. Sisanya impor dari negara lain seperti Eropa.
“Sangat ironi, Indonesia yang kaya dengan kayu hutan alam justru impor kayu dari luar,” papar Sobur kepada Bisnis, Kamis (6/2/2014)
Sobur mengatakan kelangkaan bahan baku kayu keras yang berimbas pada impor lantaran pemerintah tidak tegas mengatur kewajiban menanam kayu keras untuk industri furnitur. Sehingga pasokan kayu keras dari hutan alam di dalam negeri terus berkurang.“Memang, pemerintah menerapkan reboisasi. Tapi yang ditanam hanya menanam kayu lunak,” katanya.
Pihaknya mengatakan penanaman kayu keras hingga masa penebangan membutuhkan waktu sekitar 30-an tahun. Sedangkan penanaman kayu lunak butuh waktu tidak kurang dari 10 tahun. Anehnya, sambungnya, pemerintah seolah mengabaikan pasokan kayu keras yang banyak dibutuhkan industri furnitur dan mebel.
“Kalau tidak dimulai dari sekarang, pohon kayu keras di Indonesia lama kelamaan akan hilang. Dan Indonesia akan bergantung pada asing, imbasnya produksi dalam negeri tentu kalah bersaing dengan asing,” paparnya.
Menurutnya, ketersediaan rotan di Indonesia saat ini sekitar 125.000 ton/tahun untuk rotan basah, dan rotan kering 70.000 ton/tahun yang banyak ditemukan di Sulawesi dan Kalimantan.“Ketersediaan rotan masih aman. Bahkan, ketersediaan rotan di sini belum ada pesaingnya,” imbuh Sobur.
Kendati bahan baku rotan tercukupi, Sobur tetap mewaspadai maraknya ilegal logging yang menggerus ketersediaan rotan. Dia meminta kepada Kementerian Kehutanan untuk tegas menegakkan jatah tebang lestari. Artinya jatah tebang pohon dari hutan alam sesuai dengan masa penebangan.
“Jika aturan itu diabaikan, rotan bisa tambah sulit. Karena pohon rotan itu tumbuhnya merambat, bergantung pada pohon. Kalau pohonya ditebas habis, ya rotan bisa punah,” ujarnya.
Sobur mengatakan adanya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 35,36, dan 37 Tahun 2011 yang menyetop ekspor bahan baku rotan memiliki dampak positif bagi pengusaha furnitur rotan sehingga menjadikan industri ini lebih bergairah.
Dia mengatakan sekitar 80% keberadaan rotan ada di Indonesia sehingga memiliki kekuatan inti dari industri furnitur.
“Kalau kayu mungkin masih banyak di negara-negara lain,” katanya.
Untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015, AMKRI juga sudah mulai berbenah dengan menyiapkan beragam inovasi mebel dan kerajinan rotan.
Selama ini peminat mebel dan kerajinan rotan terbanyak yakni dari Negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, tetapi kini sudah banyak diminati oleh pasar Taiwan dan China.
“Indonesia ini memiliki posisi yang menarik untuk produk rotan karena kita mempunyai bahan baku yang memadai,” katanya.
Selain itu, jelas Sobur, sejak diberlakukan kebijakan larangan ekspor bahan baku rotan itu, institusi perbankan juga sudah mulai percaya untuk memberikan bantuan penyaluran permodalan bagi industri mebel dan kerajinan rotan, pasalnya, rotan masuk dalam daftar bahan baku negative.
Pertumbuhan industri mebel dan kerajinan kayu maupun rotan hingga akhir tahun ini pun ditargetkan 20%, naik dari pertumbuhan tahun lalu yakni 15%.
Adapun nilai ekspor mebel kayu dan rotan secara keseluruhan tahun ini ditargetkan mencapai US$1,7 miliar.