Bisnis.com, JAKARTA - Pengusaha tambang emas dan tembaga berpotensi menderita kerugian sekitar Rp34 triliun akibat kredit macet tambang dan industri pendukungnya, serta tekanan biaya lainnya.
Natsir Mansyur, Ketua Asosiasi Tembaga Emas Indonesia (ATEI) , mengungkapkan potensi kerugian pelaku usaha tambang emas dan tembaga itu terkait dengan penerangan UU Minerba yang melarang ekspor mineral mentah, serta implementasi bea keluar 20%-60% dari 2014-2017 yang diterapkan lewat Peraturan Menteri Keuangan No.6/2014.
"Berdasarkan laporan sejumlah pengusaha ditaksir potensi kerugian sebesar Rp45 triliun. Itu akibat kredit macet tambang dan industri pendukungnya serta tekanan biaya lainnya," ujarnya, Rabu (5/2).
Dia menjelaskan dari laporan pengusaha Nikel, bauksit, pasir besi, bijih besi, mangan, tembaga potensi kerugian Rp45 triliun itu sistemik karena kredit macet serta leasing yang tidak bisa dibayar.
"Kalau ekspor ore itu kan pindah jadi industri pengolahan, sehingga pengusaha investasi lagi. Ada tahapannya. Jika sekarang pemerintah menetapkan BK sangat tinggi, untuk apa dilanjutkan," tegas Natsir.
Dia menambahkan hal krusial adalah tutupnya bisnis pertambangan dan itu sangat membahayakan.
"Itu berbahaya bagi kita. Kalau hari ini tutup, untuk mengangkat kembali bisnis pertambangan 3 tahun mendatang sudah sulit sekali. Saya rasa Menteri Keuangan kurang inovatif," ungkap Natsir. (Antara)