Bisnis.com JAKARTA – Keputusan pemerintah untuk menerapkan bea keluar progesif sebesar 20% - 60% untuk konsentrat yang diperbolehkan ekspor dinilai sebagai kebijakan yang tidak rasional dan terancam akan menurunkan semangat para pelaku usaha yang telah berkomitmen untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) mengurungkan niatnya.
Pasalnya, tingginya bea keluar itu dinilai akan sangat merugikan para pelaku usaha dan menutup pintu bagi investor untuk menanamkan usaha pada industri hilir pertambangan ini.
Ketua Umum Kadin Indonesia Susilo Bambang Sulisto mengatakan angka yang disebutkan Kementerian Keuangan melalui bea keluar progesif yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 6/2014 merupakan angka yang tidak rasional.
Dia menilai kebijakan bea keluar progresif tidak sinkron dengan hilirisasi. Pasalnya, secara logika, semakin tinggi nilai tambah yang dihasilkan oleh pelaku usaha maka semakin kecil pajak ekspor yang harus dibayarkan. Sebaliknya, semakin kecil nilai tambah maka semakin tinggi pajak yang harus dibayar oleh pelaku usaha.
“Jangan kan progesif, naik tiap semester, para pemegang kontrak karya [KK] akan berpikir ulang untuk mengekspor konsentrat bila BK 25%,” katanya, Sabtu (18/1/2014).
Pasalnya, jelasnya, ini untuk kali pertama para pemegang KK diwajibkan membayar bea keluar ekspor konsentrat. Padahal, ujarnya, dalam kontrak karya tidak disebutkan masalah bea keluar, sehingga pemerintah terancam kalah di pengadilan arbitrase bila pemegang KK menggugat.
Sementara itu, Kepala Satgas Mineral Kadin Indonesia Didie W. Soewondho meminta untuk diajak berbicara dengan Kementerian Keuangan agar bea keluar progesif bisa diturunkan. Selain itu, pihaknya meminta agar pelaku usaha yang berkomitmen membangun smelter dapat memperoleh insetif berupa tax holiday, bunga investasi, infrastruktur dan dipermudah dalam perijinan.
Terkait rencana pemberlakukan kuota yang diperbolehkan ekspor, dia tak berkomentar banyak. “Boro-boro kuota ekspor, mau ekspor saja pengusaha masih pikir-pikir dulu,” katanya.