Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah diminta konsisten terapkan aturan bea keluar konsentrat tambang dengan kisaran 20%-60% mulai tahun ini.
"Tidak ada lagi alasan. Jalankan aturan bea keluar untuk konsentrat secara konsisten," ujar Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto, seperti dikutip Antara, Kamis (16/1/2014).
Menurut dia, pengenaan bea keluar konsentrat secara progresif diyakini mampu mempercepat perusahaan tambang membangun pabrik pengolahan (smelter) di Indonesia.
Di sisi lain, pengenaan bea keluar yang cukup tinggi merupakan disinsentif bagi perusahaan tambang, karena telah mengabaikan amanat UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Hanya saja, lanjutnya, pemerintah perlu menyiapkan strategis negosiasi dan komunikasi yang lebih baik dengan pemerintah asal perusahaan tambang.
"Kalau tidak, nanti peraturan ini hanya akan menyentuh perusahaan kecil, tapi yang besar bisa tidak tersentuh," ujarnya.
Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 2014 dan Permen ESDM No 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri masih mengizinkan ekspor mineral olahan atau konsentrat hingga 2017.
Sesuai dengan Permen ESDM 1/2014, kadar minimum konsentrat yang bisa diekspor adalah tembaga 15%, bijih besi 62%, pasir besi 58%, dan pelet 56%, mangan 49%, seng 52%, dan timbal 57%.
Namun, pemerintah juga menerapkan disinsentif berupa pengenaan bea keluar bagi konsentrat tambang untuk mempercepat pembangunan smelter-nya.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan, BK diterapkan secara progresif antara 20%-60% mulai 2014—2016.
BK sebesar 60% merupakan tarif maksimal sesuai aturan yang ada. Untuk konsentrat tembaga, BK dikenakan 25% pada 2014, 35% semester I/2015, 40% semester II/ 2015, 50% semester I/2016, dan 60% semester II/2016.
Di luar tembaga yakni konsentrat besi, mangan, timbal, seng, besi ilmenit, dan titanium, BK dikenakan 20% pada 2014, 30% semester I/2015, 40% semester II/2015, 50% semester I/2016, dan 60% semester II/2016.