Bisnis.com, JAKARTA-Komisi Nasional (Komnas) Pengendalian Tembakau (PT) menilai Kementerian Perindustrian tidak memahami isi konvensi pengendalian tembakau melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) sehingga pemerintah lantas menolak tegas rencana ratifikasi FCTC.
Penilaian Komnas menanggapi pernyataan Direktur Minuman dan Tembakau Kementerian Perindustrian Eni Rahmaningtyas yang menilai Indonesia tidak perlu meratifikasi FCTC karena sudah memiliki Peraturan Pemerintah (PP) No. 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif.
Pengamat Hukum Tubagus Haryo Karbiyanto mengatakan PP No. 109/2012 faktanya merupakan pengaturan pengendalian tembakau, sebagai mandat dari UU No 36/2009 tentang Kesehatan.
Pihaknya membenarkan ada beberapa pengaturan yang mengacu pada FCTC, namun banyak hal yang tidak mengacu pada praktik terbaik internasional.
Sebagai contoh pengaturan tentang iklan dan promosi serta sponsor dari industri tembakau atau rokok yang masih diperbolehkan dan tidak adanya sanksi tegas.
“Yang ada sanksi administrasi yang sulit diterapkan. Belum lagi persoalan koordinasi antara instansi terkait isu pengendalian tembakau ini. Dalam PP ada beberapa hal yang sulit diimplementasikan,” papar Tubagus, Jumat (27/12/2013).
Oleh karena itu, menurutnya, aksesi FCTC tetap diperlukan sebagai sebuah kerangka kerja kebijakan pengendalian tembakau yang menyeluruh guna melindungi generasi mendatang dari dampak dan konsekuensi konsumsi berupa dampak kesehatan, ekonomi dan lingkungan.
Tubagus menambahkan pembayar cukai rokok terbesar bukan dari industri rokok. Melainkan para perokok yang tiap hari membelanjakan uangnya untuk membeli rokok.
“Dengan aksesi FCTC justru cukai itu dapat ditingkatkan lebih besar lagi. Karena dalam FCTC cukai rokok adalah instrument strategis dalam pengendalian tembakau yaitu dengan menaikkan cukai rokok yang tinggi maka pendapatan dari cukai akan meningkat,” terangnya.
Tubagus menerangkan sifat tembakau merupakan zat adiktif, yang mana dapat membuat pemakai akan kecanduan. Oleh sebab itu, lanjut dia, mahalnya harga rokok bukan menjadi halangan bagi para pecandu untuk membeli rokok.
“Adanya ratifikasi FCTC justru akan melindungi masyarakat bawah untuk tidak menghabiskan penghasilan membeli rokok. Dan diharapkan penghasilannya bisa dibelikan untuk keperluan kesehatan, pendidikan dan membeli makanan sehari-hari,” ujar Tubagus.
Hal senada diungkapkan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menganggap Kemenperin hanya mengadopsi kepentingan industri rokok terkait rencana pemerintah mengaksesi kerangka kerja pengendalian tembakau.
“Kemenperin hanya mendengarkan suara dari kalangan industri rokok. Perlu kami jelaskan, FCTC itu hanya mengatur demand reduction (pengurangan permintaan), bukan supply reduction (pengurangan pasokan),” terang Tulus.