Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah menyatakan tidak mengkhawatirkan arbitrase dari perusahaan luar negeri yang memiliki kontrak jangka panjang dengan perusahaan tambang seperti PT Freeport Indonesia atau PT Newmont Nusa Tenggara.
Hal itu terkait pelarangan ekspor bijih (ore) produk tamnbang mineral yang akan diberlakukans ecara efektif mulai 12 Januari 2013.
Wakil Menteri Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo mengatakan tuntutan yang diajukan pada perusahaan tambang tidak berpengaruh langsung pada Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah tetap optimis dapat menjalan UU No.4/2009.
"[Mengenai tuntutan] Itu urusan mereka [antara perusahan] bukan dengan pemerintah," ujarnya, Selasa (10/12/2013).
Menanggapi hal serupa mengenai adanya tuntutan tersebut, Wakil Ketua Indonesia Mining Association (IMA) Clayton Allen Wenas mengatakan perusahaan tambang besar memang memiliki perjanjian dengan pembeli di luar negeri dalam jangka waktu panjang. Namun, perjanjian tersebut bersifat business to busness.
"Sebaiknya perusahaan-perusahaan itu mengumumkan tentang keadaan force majeure," katanya.
Dia menyatakan setiap perjanjian antar perusahaan memiliki klausul-klausul yang telah disepakati antara perusahaan. Mengenai dampak, Indonesia dalam jangka waktu pendek harus bertanggung jawab dalam sikap mereka di pasar perdagangan bebas.
Tony menyarankan agar pemangku kepentingan tetap mencari jalan keluar agar kebijakan yang telah mereka terbitkan tidak terlalu merugikan perusahaan. Hal tersebut sesuai dengan kesepakan dalam Kontrak Karya.
Pihaknya tetap mendukung adanya pembatasan ekspor karena menyangkut kedaulatan. Namun, pemangku kepentingan juga sebaiknya memperhatikan dampak yang lebih luas. Tony juga menyarankan adanya penurunan kadar pengolahan dan pemurnian bijih mineral agar tetap bisa diekspor, tetapi ekspor harus dikendalikan dengan ketat.