Bisnis.com, JAKARTA-Kebijakan meningkatkan kadar fatty acid methyl ester atau FAME menjadi 10% dalam bahan bakar nabati tidak akan mampu menyelesaikan persoalan depresiasi rupiah sebagai akibat dari neraca perdagangan yang defisit.
Pri Agung Rakhmanto, pengamat energi RefoeMiner Institute, mengatakan paket kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengurangi impor bahan bakar minyak dan minyak mentah saat ini memerlukan waktu dalam pelaksanaannya.
Adapun depresiasi rupiah memerlukan solusi yang bisa cepat diterapkan.
“Penggunaan BBN 10%, dan pembangunan kilang kan memerlukan waktu untuk melaksanakannya, sedangkan depresiasi rupiah ini kan harus segera diselesaikan agar tidak semakin memburuk,” katanya di Jakarta, Senin (30/9/2013).
Pri Agung menuturkan kebijakan pemerintah yang selalu berganti dalam sektor BBM menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam mengelola BBM.
Selama ini, program yang dilakukan pemerintah seolah-olah hanya ingin menunjukkan masing-masing kementerian memiliki program untuk BBM ini.
Seperti diketahui, pemerintah mengeluarkan mandatori penggunaan BBN 10% untuk seluruh badan usaha yang menyalurkan BBM.
Hal itu dilakukan untuk mengurangi impor BBM, sehingga menjaga neraca perdagangan nasional.
Sementara itu, peneliti Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Bambang Drajat mengatakan pengembangan industri biodiesel tidak boleh mengorbankan industri minyak sawit mentah.
Pasalnya, industri hulu melibatkan petani kelapa sawit langsung sebagai produsen CPO.
“Kebijakan ini harus menghindari politik menekan hulu atau produsen CPO untuk mengangkat hilir [biodiesel]nya.
Makanya, pemerintah harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan untuk merumuskan kebijakan penggunaan BBN 10%,” jelasnya.
Gapki sendiri, lanjut Bambang, mendukung penggunaan BBN 10% selama kebijakan itu juga mendorong pengembangan rantai pasok, sehingga tidak terjadi ketimpangan.
Pemerintah juga harus memberikan insentif kepada industri hulu BBN, agar pasokannya terjamin. (ra)