Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Hilirisasi Industri Sawit, Kontribusi Produk Turunan CPO untuk Tekan Defisit Perdagangan

Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia telah menyandang gelar sebagai raja minyak nabati dunia sejak 2006 dengan meraup devisa US$10 miliar dari ekspor minyak kelapa sawit.  Kini, sawit Indonesia menguasai pasar minyak nabati dunia dengan pangsa

Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia telah menyandang gelar sebagai raja minyak nabati dunia sejak 2006 dengan meraup devisa US$10 miliar dari ekspor minyak kelapa sawit.  Kini, sawit Indonesia menguasai pasar minyak nabati dunia dengan pangsa 13,5%.

Bahkan, pada tahun ini nilai ekspor sawit Indonesia diprediksi mencapai sekitar US$15 miliar.

Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), nilai ekspor CPO dan  turunannya pada periode Januari-Juni 2013 mencapai US$9,62 miliar, dengan volume  11,34 juta ton. 

Lalu apa kontribusi signifikan lainnya bagi geliat ekonomi Indonesia?

Merujuk pada kondisi terkini, yakni terjadinya defisit perdagangan Indonesia, komoditas sawit telah menjadi ‘dewa penyelamat’ bagi perekonomian nasional. Betapa tidak, tanpa devisa ekspor sawit defisit perdagangan Indonesia semakin parah.   

Komoditas kelapa sawit Indonesia menjadi penolong utama di tengah defisit perdagangan Indonesia pada 2012, karena ternyata ekspor sawit mencapai US$22,45 miliar pada tahun lalu.

Secara total, neraca perdagangan sektor pertanian mencatat surplus US$33,6 miliar pada saat neraca perdagangan Indonesia defisit US$ 1,63 miliar pada 2012.

Surplus perdagangan hanya dicetak oleh sub sektor perkebunan, sedangkan sub sektor tanaman pangan defisit US$6,7 miliar, peternakan defisit US$2,9 miliar, dan hortikultura US$1,3 miliar.

Surplus ekspor sub sektor perkebunan didominasi oleh minyak kelapa sawit, yakni senilai US$22,45 miliar, karet US$8,39 miliar, kelapa (kopra) US$1,91 miliar, dan kopi US$1,3 miliar.

Tantangan Lokal dan Global

Namun, peran strategis komoditas kelapa sawit itu kini menghadapi tantangan yang sangat pelik dan berat sekali. Tidak hanya diserang oleh black champaign global yang menyudutkan sawit Indonesia, di dalam negeri sejumlah masalah krusial juga mendera kelapa sawit.

Di luar negeri kampanye anti sawit dunia semakin massif, baik menggunakan media global maupun LSM dan lembaga dunia. Keunggulan sawit juga diserang dengan sejumlah isu dan instrumen, seperti perusakan hutan, pemanasan global, dan ‘pemaksaan’ penerapan standardisasi ala negara maju.

Adapun di dalam negeri, pengembangan sawit semakin dibatasi dengan moratorium kehutanan, aturan ekspansi lahan maksimal 100.000 ha, dan RUU soal Pertanahan yang membatasi hanya 50.000 ha, serta aturan pungutan pajak ekspor yang dinilai memberatkan perusahaan sawit.

Pendek kata, minyak sawit terbukti telah memberikan kontribusi positip, tetapi tantangan dan masalah yang dihadapi juga semakin berat.

“Minyak sawit Indonesia kini menjadi kompetitor alias ancaman minyak nabati negara maju, yakni kedelai, rape, dan bunga matahari milik AS dan Eropa. Mereka menyerang sawit Indonesia tidak hanya soal masalah persaingan bisnis, tetapi kini ke arah politik dengan menumpang lembaga resmi dunia,” ujar Joko Supriyono, Sekjen Gapki, dalam beberapa kesempatan.

Sebaliknya, kampanye anti sawit Indonesia yang digencarkan oleh Eropa diyakini akan terus dilakukan selama sawit Indonesia terus tumbuh dan berkembang.

Industri persawitan nasional berulang kali menyatakan komitmen untuk menerapkan program perkebunan sawit berkelanjutan, tetapi tidak bisa menerima perlakukan negara barat dengan isyu sustainable palm oil sebagai alat untuk menekan perdagangan dan politik.

Namun, ternyata industri sawit nasional dan pemerintah tampaknya mulai ‘kehabisan stamina’ dalam menghadapi gempuran kampanye negatif negara maju.

Lalu, jurus apa lagi yang mungkin dilakukan? Hilirisasi adalah solusinya dan mendesak dirampungkan.

Prioritas Hilirisasi

Apa makna krusial hilirisari minyak sawit (CPO)?  Sudah pasti, ujung dari program hilirisasi adalah peningkatan nilai tambah produk.

Makna strategis lainnya memperkuat struktur industri, menyediakan lapangan kerja, dan memberi peluang usaha.
Hilirisasi adalah cara yang paling ampuh untuk mengkonter kampanye dan serangan negara maju terhadap CPO Indonesia.

Biarkan saja minyak sawit Indonesia tidak disenangi AS dan Eropa, tetapi produk turunan hasil dari program hilirisasi pasti disukai dan diterima pasar global. Misalnya, produk turunan kosmetika dan makanan.

Tanpa disadari, seperti yang pernah diungkapkan Gapki, bahwa kini lebih dari 50% produk makanan AS menggunakan sawit, bahkan Eropa lebih besar lagi, mencapai 60%.

Sebaliknya, program hilirisasi industri agro yang dicanangkan oleh Kementerian Perindustrian diklaim telah mencapai hasil yang cukup baik.  Misalnya,  utilisasi kapasitas industri minyak goreng dari CPO  yang naik menjadi 70% pada 2012 dari sebelumnya 45% pada 2010.

Selain itu, investasi di industri hilir kelapa sawit lebih dari Rp 18 triliun dan penggunaan CPO sebagai bahan mentah semakin meningkat.

Namun, itu saja belum cukup, Indonesia masih membutuhkan hilirisasi minyak sawit lebih massif dan komprehensif lagi. Hal ini untuk mengimbangi laju produksi CPO yang pada tahun ini diperkirakan bisa tembus 27 juta ton - 30 juta ton.
Itu adalah momen yang tepat untuk menggenjot hilirisasi CPO yang merupakan komoditas berbasis sumber  daya alam. 

Tepat karena Indonesia sedang dilanda defisit perdagangan, terus diserang pesaing minyak nabati global, dan melambungnya harga minyak mentah (fosil) dunia, serta pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean (Asean Economic Community/AEC) pada Desember.

Sembilan sektor diprioritaskan pemerintah dalam menghadapi AEC 2015 guna mengisi pasar Asean, yakni  industri berbasis agro (CPO, kakao, karet), industri produk olahan ikan, industri TPT, industri alas kaki, kulit dan barang kulit, industri furnitur, industri makanan dan minuman, industri pupuk dan petrokimia, industri mesin dan peralatannya, serta industri logam dasar, besi dan baja.

Industri itu diprioritaskan untuk dikembangkan karena memiliki daya saing yang relatif lebih baik dibandingkan dengan negara-negara anggota Asean lainnya.

Kendala Klasik Hilirisasi

Kendati telah dicanangkan Kementerian Perindustrian sejak 2010, tetapi faktanya progress hilirisasi kurang memuaskan, kalau tidak boleh dibilang lamban.

Ibarat aliran air di sungai, dari hulu arus mengalir deras tetapi debit semakin mengecil di bagian hilir. Bahkan, banyak air yang berputar-putar di bagian tengah.

Komoditas minyak sawit yang kini diserang habis oleh negara maju, tetapi diandalkan untuk menghadapi AEC 2015 juga belum sepenuhnya mulus dan lancar arus menuju hilir. Produksi CPO (bahan baku) semakin naik setiap tahun tetapi belum diimbangi dengan serapan di bagian hilir. 

Hal itu mengakibatkan ekspor CPO terus naik setiap tahun. Saat ini sekitar 50% minyak sawit dunia berasal dari Indonesia.

Kita baru sukses menaikkan produksi minyak goreng serta hanya sedikit untuk oleochemical dan oleo food. Padahal, masih banyak produk turunan lainnya yang lebih menjanjikan nilai jualnya. Misalnya, surfactant, pelumas,  biofuel, dan deterjen.

Lalu apa yang menjadi kendala hilirisasi CPO belum tuntas dan maksimal? Selalu saja kita berlindung di belakang kambing hitam ‘minimnya dana dan penguasaan teknologi’. Padahal, hambatan ini lazim dihadapi oleh industri kecil dan menengah. Benarkah demikian?

Itu adalah fakta yang pernah diungkapkan oleh Wakil Menteri Perindustrian Alex SW Retraubun soal masihnya lambatnya progress hilirisasi industri.

Jika demikian halnya, salah satu solusinya adalah undang sebanyak mungkin investor asing untuk masuk ke industri hilir CPO.

Namun, lagi-lagi masalahnya adalah pemodal asing alias PMA belum ‘cukup percaya’ dengan prospek pengembangan industri hilir minyak sawit.

Kenapa pemodal asing belum begitu tertarik?  Sudah pasti juga terkait dengan kendala klasik lainnya yang juga dihadapi investor di bagian hulu minyak sawit, yakni kepastian hukum, keamanan dan kenyamanan berusaha, serta infrastruktur.

Lalu, jika hambatan klasik itu belum juga tuntas, bisa-bisa program hilirisasi industri tidak akan sampai ke muaranya, yakni penciptaan nilai tambah devisa, memperkuat struktur industri, serta penciptaan lapangan kerja dan kesempatan berusaha  di Indonesia.

Solusi menuju program hilirisasi yang sukses hingga ke muara sudah pasti adalah memecahkan  hambatan dan kendala klise itu.                      

Selain itu, bisa juga dipertimbangkan pemerintah untuk memberikan fasilitas tax holiday untuk nilai investasi tertentu bagi pendirian pabrik-pabrik yang memproduksi produk turunan CPO.

Jadi, jangan puas Indonesia hanya menjadi raja minyak nabati dunia dengan devisa US$10 miliar sejak 2006.

Sebaliknya, Indonesia harus bisa menjadi raja oleo food, raja oleochemical, raja surfactant, raja pelumas, raja deterjen, dan raja biofuel dunia, dengan devisa US$100 miliar, seperti yang dicita-citakan pelaku kelapa  sawit Indonesia pada 2030.

Namun, melalui akselerasi, terobosan, dan kerja sama semua stake holder industri sawit nasional, terbuka kemungkinan Indonesia tidak perlu menunggu target raihan devisa sawit pada 2030, tetapi bisa dipercepat. Syukur-syukur dalam 5-10 tahun sudah terwujud.

Jika itu tercapai, tidak ada lagi kisah sedih dan elegy defisit neraca perdagangan Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Others
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper