Bisnis.com, JAKARTA - PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) menargetkan membangun pembangkit kapasitas 13.000 total megawatt (MW) atau 20% dari kapasitas pembangkit energi terbarukan yang ada saat ini pada 2021.
Kepala Divisi Energi Baru Terbarukan PLN Mochamad Sofyan mengatakan untuk mencapai target itu saat ini PLN fokus pada empat pembangkit listrik energi terbarukan.
"Keempat pembangkit yang menjadi prioritas adalah hidro, geotermal, bioenergi, dan solar [matahari]," katanya hari ini, Kamis (19/9/2013).
Fokus program tersebut diharapkan dapat memulai akselerasi konversi energi fosil ke energi terbarukan pada 2025. Target jangka panjang itu berdasarkan asumsi bahwa cadangan energi fosil terutama minyak akan menipis pada tahun tersebut.
Sofyan mengatakan pada 2012 terdapat 35.000 MW kapasitas dari seluruh pembangkit listrik. Dari jumlah tersebut, 88% listrik yang dihasilkan dari pembangkit tenaga fosil. Angka itu merupakan jumlah dari 44% energi batu bara, 23% dari minyak, dan 21% dari gas. Sisanya 12% dihasilkan dari energi terbarukan. Kapasitas total listrik dari pembangkit energi terbarukan saat ini hanya 5.000 MW.
Selain mengurangi konsumsi minyak, pembangkit energi terbarukan bertujuan untuk mengurangi emisi karbon. PLN mencatat emisi yang dihasilkan oleh pembangkit listrik saat ini 0,7 kg/kwh. Jika presentase pembangkit hingga 20%, maka reduksi emisi karbon dapat bertahan mencapai 0,724 kg/kwh.
Sofyan mengakui hambatan terbesar dalam pembangkitan energi terbarukan adalah regulasi, harga, dan proses pembangunan yang lama. Misalnya, pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) yang membutuhkan waktu kurang lebih 7 tahun hingga memproduksi listrik.
Untuk geotermal, persoalan terjadi ketika penetuan harga. UU kelistrikan menyatakan bahwa harga listrik berdasarkan hasil lelang terendah. Namun, Peraturan Menteri No 22/2012 menyatakan bahwa lelang ditentukan oleh feed in tarif.