Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah masih mempertimbangkan kelangsungan penerimaan negara sehingga insentif fiskal untuk industri padat karya hanya berupa pengurangan cicilan dan penundaan pembayaran pajak penghasilan badan untuk menyiasati gejolak ekonomi.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang P.S.Brodjonegoro mengatakan penerimaan negara akan jauh berkurang jika pemerintah menurunkan tarif PPh badan meskipun dimungkinkan oleh UU No 36/2008 tentang PPh.
Meskipun demikian, ujar dia, kebijakan itu tidak mengabaikan kondisi dunia usaha dan telah melalui persetujuan pelaku usaha.
“Kami melihat dari dua kepentingan. Satu, penerimaan negara. Dua, menyelamatkan pelaku usaha,” ujarnya Senin (9/9/2013).
Namun, pengusaha nasional sekaligus Wakil Ketua Komisi VI DPR Airlangga Hartarto menilai pemerintah semestinya memprioritaskan ketahanan kesempatan kerja ketimbang berlindung di balik penerimaan negara di tengah gejolak ekonomi saat ini.
“Saat rupiah melemah seperti ini, mencari investasi baru kan sulit. Menurut saya, lebih baik yang sudah commit saja yang dipertahankan,” ujar salah satu pemilik produsen kertas PT Fajar Surya Wisesa Tbk ini.
Sebelumnya, dia mengusulkan pemerintah memberikan insentif untuk industri padat karya berupa penurunan tarif PPh badan 5% lebih rendah dari tarif yang berlaku saat ini sebesar 25%.
UU PPh pasal 17 ayat (2b) memungkinkan WP badan berbentuk perseroan terbuka dapat memperoleh tarif 5% lebih rendah dari tarif yang berlaku saat ini sebesar 25%, dengan syarat minimal 40% dari jumlah saham yang disetor, diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya.
Dispensasi itu memungkinkan ditetapkan tanpa harus melalui peraturan pemerintah sehingga kebijakannya dapat digulirkan segera.
Apalagi, lanjut politikus Golkar ini, penurunan tarif PPh akan membuat Indonesia kompetitif di tengah liberalisasi tarif dalam kerangka Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) mulai 2015.
“Thailand sudah lebih dulu berencana menurunkan tarif PPh sebesar 5% mulai 2014,” ujar Ketua Asosiasi Emiten Indonesia itu.