Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah diminta mengeluarkan kebijakan restrukturisasi utang luar negeri swasta yang jatuh tempo secara kolektif, guna mengurangi tekanan dari nilai tukar rupiah terhadap dolar.
Ekonom Institute for Development Economic and Finance (Indef), Iman Sugema mengatakan pemerintah perlu melakukan kebijakan jangka pendek guna menenangkan gejolak pasar. Menurutnya, restrukturisasi utang luar negeri swasta dapat menjadi solusi yang tepat.
“Tota utang swasta itu sekitar US$126 miliar, dan yang tenornya dibawah 1 tahun sekitar US$85 miliar. Jika misalnya, swasta bisa melakukan refinancing utang, tentu tekanan rupiah akan berkurang,” ujarnya, Rabu (28/08/2013).
Dia menambahkan langkah tersebut dapat menjadi solusi yang tepat guna menenangkan gejolak pasar saat ini. Setelah hal itu dilakukan, lanjutnya, pemerintah baru dapat mengeluarkan kebijakan untuk menggenjot ekspor dalam negeri.
“Dampak dari kebijakan ekspor impor dampaknya bau akan terasa pada dua atau tiga tahun mendatang. Perdagangan ekspor impor kan ada kontraknya, tidak bisa tiba-tiba langsung ada pertambahan ekspor,” tuturnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, perlu ada kebijakan penundaan pembayaran utang luar negeri swasta yang akan jatuh tempo, secara kolektif atau bersama-sama. Kebijakan ini bisa diinisiasi oleh pemerintah dan Bank Indonesia
Menurutnya, semakin besar outstanding yang dibarengi singkatnya tenor, menciptakan beban utang yang semakin besar dalam jangka dekat ini. Artinya, minimnya pengendalian beban utang swata, akan mengganggu kestabilan NPI dan nilai tukar rupiah.
Saat ini, menurut Iman, Indonesia sudah memasuki krisis neraca pembayaran (NPI). Sejak 22 bulan yang lalu, lanjutnya, pergerakan nilai tukar rupiah cenderung menunjukkan tren pelemahan.
Kendati demikian, menurutnya, selama itu pemerintah tidak memperlihatkan adanya sense of urgency untuk menyelesaikan hal itu. Padahal stabilitas nilai tukar sangat penting karena memberikan indikasi awal tentang arah fundamental ekonomi.