Bisnis.com, JAKARTA—Pelaku usaha mendesak Pemprov DKI Jakarta segra memperbaiki masalah pengupahan dan perizinan guna merespons tren perlambatan investasi di Ibu Kota.
Sejak kuartal I/2011 hingga kuartal II/2013, pertumbuhan investasi di DKI menunjukkan perlambatan. Sepanjang periode tersebut, pertumbuhan investasi hanya dua kali menunjukkan geliatnya, yaitu pada kuartal II dan kuartal IV/2012. Selain itu, laju pertumbuhannya terus melesu.
Sarman Simanjorang, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI), mengatakan kondisi seperti ini seharusnya menjadi peringatan bagi Pemrov DKI agar lebih rasional dalam menetapkan besaran penaikan upah minimum provinsi (UMP).
“Dulu, kenaikan UMP per tahun 10%--15%, kemudian 2011 ke 2012 sebesar 28%, tetapi dari 2012 ke 2013 mencapai 44%. Ini jadi kendala dan pertimbangan bagi calon investor,” katanya saat dihubungi Bisnis, Minggu (4/8/2013).
Sarman menjelaskan, dalam investasi jangka panjang, investor akan memasukkan tren pergerakan UMP di dalam rencana bisnisnya. Apabila Pemprov DKI tidak dapat mengendalikan laju UMP tersebut, hal itu menjadi disinsentif bagi investor untuk menanamkan modalnya di Ibu Kota.
Dia mengungkapkan laju UMP yang tidak terkendali akan memberikan dampak paling besar ke sektor manufaktur. Pasalnya, sektor ini termasuk salah satu sektor yang penyerapan tenaga kerjanya paling tinggi.
Sarman mengatakan akhir-akhir ini banyak investor yang mulai enggan untuk menanamkan modalnya di sektor industri pengolahan. “Bahkan banyak industri karya yang sudah investasi lama di Jakarta akan hengkang,” ujar pengusaha yang juga menjadi Wakil Ketua Kadin DKi ini.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan tren pertumbuhan sektor industri pengolahan mengalami perlambatan sejak kuartal II/2012 hingga kuartal II/2013, yaitu dari sebesar 4% year-on-year menjadi 1,5% year-on-year. Padahal, sektor industri pengolahan menjadi salah satu penopang terbesar pertumbuhan ekonomi DKI.
Dalam struktur produk domestik regional bruto (PDRB) DKI tahun lalu, komposisi sektor ini mencapai 15,6% dan menempati posisi ketiga terbesar, setelah sektor keuangan, real estate, jasa perusahaan dan sektor perdagangan, hotel, restoran.
Selain masalah iklim perburuhan, Sarman juga menyoroti masih lamanya proses pengurusan izin usaha di Ibu Kota. “Perizinan itu harus jelas, beri kepastian berapa lama waktunya dan biayanya,” tegasnya.
Dia menilai program pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) di DKI saat ini masih belum berjalan optimal. Menurutnya, investor memang cukup mengunjungi PTSP untuk mengurus izinnya. Namun, lpetugas PTSP masih harus mengurus izin terkait dengan mendatangi instansi terkait sehingga prosesnya masih tetap lama.
“Seharusnya PTSP dijadikan lembaga tersendiri, setingkat dinas, tetapi memiliki pejabat perwakilan dr masing-masing dinas terkait, misalnya dari [dinas] pajak, pariwisata atau lainnya,” katanya.
Laju pertumbuhan investasi di DKI pada kuartal II/2013 hanya 5% year-on-year, lebih rendah dibandingkan dengan kuartal II/2012 sebesar 11% year-on-year.